Jumat, 17 Januari 2014

Sekolah di Kota itu Cita-Cita Ayah




                Entah kata apa yang pantas aku tuliskan untuk mengawali semua ini, aku merasa belum memiliki jiwa menjadi pujangga yang pandai dalam merangkai kata. Tapi dengan tulisan kecilku ini, aku ingin menyampaikan pesan dan salam cinta Tuhan untuk Manusia. Pesan nyata tentang takdir Tuhan, pesan tentang cerita gadis yang ingin menimba ilmu di Kota sana. Ya, menyekolahkan anknya di Kota sana adalah sebuah cita-cita sederhana yang orang tua ku miliki.








            Aku hanyalah seorang gadis biasa, gadis dengan seorang adik yang terlahir dari keluarga yang sederhana. Ayahku hanyalah seorang pedagang kecil di sebuah pasar tradisional yang letaknya jauh dari perkotaan, Ibuku yang manis ini hanyalah seorang ibu rumah tangga dengan segala kesibukannya di rumah yang kami tempati selama ini. Tidak ada yang lain, jelas sudah bahwa semua sumber dana keluarga kami hanya bertumpu pada hasil penjualan dagangan Ayahku di pasar sana. Mirisnya, aku tidak pernah mengetahui segala sesuatu tentang keuangan didalam keluargaku, bukannya aku bertindak tidak peduli dengan semua ini tapi memang kedua orang tuaku itu tidak pernah memberitahukan apapun tentang ini. Mungkin mereka mau aku tetap fokus belajar tanpa perlu mengetahui beban keluarga yang ada. Seperti yang pernah ayah bilang padaku tempo hari.
            Belajarlah Nak, tuntutlah ilmu setinggi-tingginya. Jangan hanya mencontoh kedua orang tuamu, Allah maha kaya Nak, Ayah akan selalu berusaha mencari uang untuk kamu dan adikmu bisa meneruskan mimpi kalian. Pesan singkat Ayahku yang mampu mengoyakan hati ini.
            Setelah hari itu, aku tidak pernah lagi membahas masalah keuangan keluarga kami lagi. Yang aku tahu saat itu adalah, keluarga sederhana ini masih mampu membayar biaya sekolahku dan adikku. Bahkan kala itupun aku masih sangat bersyukur karena keluarga ini tidak pernah mengemis pada siapapun karena kekurangan.
            Singkat cerita, kala itu keluarga kami adalah sebuah keluarga yang berkecukupan. Ayahku yang pekerja keras dulunya pernah bekerja di sebuah Pabrik pengrajin kayu dan ibuku dengan giatnya bekerja disebuah toko tas. Setiap bulannya aku dan adikku mampu membeli mainan baru dan dengan gembiranya kami pun bermain. Sayangnya,  hal ini tidak berlangsung lama.
Masa transisi ini merenggut semua. Bagaikan putaran sebuah roda, terkadang memang kita harus berada dibawah setelah kemarin kita berotasi diatas sana. Ayahku saat itu mengalami sebuah musibah kecil, Beliau akhirnya jatuh sakit dan tak lama ibu pun juga harus berhenti dari pekerjaannya. Masa yang sangat sulit bagi keluarga kami, jangankan untuk mengingat sebuah mainan baru untuk ku dan adikku, untuk makan sesuap nasi saja kami harus bekerja keras dulu agar mendapatkannya. Kala itu aku masih duduk dibangku sekolah dasar, masa-masa kecilku saat itu sudah dipenuhi dengan pembelajaran nyata dari Nya. Sebuah teguran dan sapaan Sang Pencipta pada makhluknya yang rapuh. Aku tak bisa berbuat banyak, bahkan aku sempat lupa caranya tersenyum kala itu.
Setelah kesembuhannya, Beliau tidak mau berlama-lama melihat keluarga kecilnya ini terpuruk dan terandam bersama penderitaan. Banyak hal yang Ayah lakukan untuk kami, dari mulai menjadi tukang ojeg hingga menjadi penjualan kecil di pasar dekat rumah kami. Ayah tidak pernah menganggapku sebuah beban hidupnya, padahal aku yang kala itu baru tahu caranya memegang pensil sering merengek pada Ayah untuk dibelikan sebuah mainan. Tapi dengan seiringnya waktu, lambat-laun aku sadar dengan sendirinya. Bahwa aku itu berbeda dengan yang lain, aku berbeda dengan teman-teman yang bisa dengan mudahnya meminta baju atau mainan baru, aku tidak bisa seperti temanku yang bisa diantar jemput dengan orang tuanya bahkan di hari pengambilan ijazahku saja kedua orang tuaku tidak bisa datang menjemput nilai siswa terbaik di sekolahku ini karena kesibukan mereka mencari nafkah.
Aku sadar seharusnya aku mampu berjalan sendiri, aku sudah lulus sekolah dasar yang berarti aku sudah mampu mempertanggungjawabkan hidupku sendiri. Aku tidak mau menyulitkan kedua orang tuaku apapun alasannya, aku hanya ingin melihat mereka tersenyum bangga pada anak pertamanya ini. Akhirnya setelah pengambilan ijazah itu aku memberanikan diriku mendatangi sebuah Sekolah Menengah Pertama impianku yang letaknya tidak jauh dari rumah kami. Hanya bermodalkan tekad yang kuat dan senyum terbaik ini, dengan percaya dirinya aku mendaftarkan nilai terbaik ini ke sana. Padahal sebelumnya aku belum sama seklau mendapatkan restu dari kedua orang tuaku.
Dengan gelisahnya aku pulang dan memberitahu semua ini pada mereka berdua, dengan penuh harapan mereka senang pilihanku ini. Alhasil mereka berdua kaget dengan keputusan cepat yang aku ambil sendiri. Mereka kecewa kenapa aku tidak mendaftar pada sekolah-sekolah yang ada di Kota. Sebagaimana dengan impian Ayhahku yang ingin melihat anaknya sukses di Kota sana. Banyak pertimbangan yang aku ambil dengan keputusanku, aku hanya ingin tetap ada disini dekat dengan kedua orang tuaku, syukur-syukur aku bisa membantu meringankan beban mereka, belum lagi memikirkan masalah biaya yang akan dikeluarkan jika aku bersekolah dikota.
“Ayah, maafkan Nura yang belum bisa penuhin impian Ayah sekarang. Tapi Nura janji Nura bisa mempertanggungjawabkan semuanya ini, Nura janji akan melanjutkan pendidikan kejenjang yang lebih tinggi. Sekolah ke Kota sana, sesuai cita-cita Ayah.” Janji kecil hati ini, karena merasa bersalah melihat kekecewaan Ayah.
***
Aku diterima disekolah impianku itu, ternyata Allah mendengar segala doa yang aku ucapkan pada-Nya. Rasa syukur dan bahagia tidak hentinya aku ucapkan pada yang diAtas sana. Aku berjanji tidak akan menghianati amanah ini, dan aku rasa banyak hal yang harus aku perbuat di sekolah ini. Mencari ilmu, pengalaman, dan pembelajaran yang nyata sebanyak mungkin. Aku harus rajin belajar untuk ini semua. Dari mulai mengikuti kegiatan ekstrakulikuler hingga menjadi pengurus Osis di sekolah ini, bertukar pikiran dengan kakak tingkatku adalah hal yang menyenangkan bagiku. Disini ternyata aku menemukan banyak hal hingga keluarga baru. Aku senang menjalani ini semua, aku rasa aku ikhlas dan aku bangga bisa melakukan banyak hal ini. Sayangnya, kedua orang tua ku tidak menyukai banyaknya aktivitas yang aku miliki, mereka takut kesehatan terganggu selain itu merekapun takut kalau saja waktu belajarku terganggu dengan hal ini. Tapi aku tetap berkeras hati untuk ikut organisasi ini, dengan sepenuh hati aku menjelaskan manfaat dari aku mengikuti organisasi ini dan menyakinkan mereka bahwa semua nya akan baik-baik saja. Dan akhirnya mereka pun ikut bangga dengan apa yang aku lakukan.
Aku memiliki maksud dan tujuan yang bagus untuk memutuskan ikut bergabung dengan beberapa kegiatan sekolah. Tapi kala itu aku malah mendapatkan komentar tidak baik dari orang-orang sekitarku tentang keadaan ini.
“Jadi anak kok gak ngerti keadaan orangtuanya, dari pada ikut organisasi kayak gitu mending kerja biar bisa bantu orangtua” pesan tetanggaku yang sedikit membuatku terguncang.
“Sekejam itukah diriku pada orang tua ku?” Tanyaku malu-malu pda diriku sendiri.Tapi lagi-lagi kedua orang tua saya menyemangati diri ini.
“Janganlah kau masukan ke hati omongan tetangga, mereka hanya melihat luarnya tidak untuk dalam nya, menjadi orang sukses itu butuh proses dan cobaan, tunjukkan ke mereka kalau kamu bisa, yang tau kemampuan kamu itu ya kamu sendiri bukan mereka atau ibu, yang bisa merubah nasib itu kesabaran, keteguhan hati dan kerja keras kamu, bukan dari bantuan mereka, jadi buat apa kamu memusingkan omongan mereka, berarti mereka sebenarnya sayang sama kamu dan omongan mereka kamu jadikan koreksi diri kamu untuk memperbaiki nya”. Pesan yang kembali membuat cair senyuman ini.
Dan akhirnya semua terbukti, prestasiku masih baik-baik saja dengan segudang aktivitas ini. Nilaiku tidak kalah saing dengan teman-teman lainnya, bahkan aku masih bisa berada dalam sepuluh besar terbaik dikelas.
***
Aku lupa menceritakan tentang peri kecilku, adikku yang manis yang mampu memecah keheningan, selalu menyejukan hati setiap orang yang mendengar celotehnya, selalu bersabar walaupun selalu disakiti dan di jahili oleh sepupu-sepupunya. Dia masih sangat kecil, umurnya baru empat tahun kala aku berusia sepuluh tahun. Gempa besar yang melanda Kota ku Jogja itu telah merengut senyuman kecil keluarga ini. Ya, aku dan keluargaku ditinggal pergi oleh adik satu-satunya yang aku miliki itu. Dia meninggalkan aku tepat satu bulan sebelum aku menghadapi Ujian Nasional SD.
Banyak pesan sebelum dia pergi pada kami yang berada disekitarnya, pesan yang memang Allah sampaikan lewat celotehan kecilnya itu. Beberapa pesan yang tak dapat aku sampaikan adalah, sebuah pesan singkatnya pada Pamanku. Betapa aku masih mengingat kata-katanya itu.
Om kamu tuh tobat sebentar lagi itu kiamat, Allah akan menghukum orang-orang yang berbuat dosa, sebentar lagi itu kiamat Om, buruan tobat biar masuk surga.
Pesan yang ini terlalu mengagetkan keluarga kami semua, adikku yang kala itu masih berumur empat tahun itu mungkin sebenarnya tidak mengetahui arti tentang kiamat. Yang dia tahu adalah Pamanku seorang pejudi dan pemabuk.
Betapa singkatnya pertemuan kami berdua, banyak hal yang ingin aku lakukan bersama dia sebenarnya. Aku belum sempat mengajarkan dia caranya mencuci tangan, menghitung jumlah warna pelangi, bahkan aku belum sempat mengajarkan dia apa iti arti seorang kakak. Tapi aku tahu Allah lebih sayang dengan dia maka dari itu dia dipanggil pulang dan aku hanya berdoa semoga dia mendapat surga-Nya disana.
***
            Betapa sayangnya Tuhan dengan hamba-Nya yang satu ini, cobaan dan teguran darinya tidak pernah ada habisnya mewarnai hidup ini. Tiga tahun silam, tepat satu bulan sebelum aku menempuh Ujian Nasional SD, aku harus kehilangan adikku satu-satunya. Sekarang diwaktu yang sama, satu bulan sebelum Ujian Nasional SMP ini aku mengalamai kecelakan yang membuat saya harus berjalan dengan alat bantu. Tapi hal ini tidak mematahkan semangatku. Selagi aku masih bisa tersenyum aku tidak akan berhenti membuat kedua orang tuaku bangga, aku berusaha untuk bisa lulus dengan nilai terbaik disini. Sampai pada akhirnya aku bisa lulus dengan baik dan mendapatkan nilai sempurna pada ujian matematika, sebuah mata kuliah yang sangat dihindari oleh murid SMP.
            Bahagia itu sederhana, ketika melihat senyum bangga kedua orangtuaku saat namaku disebut sebagai salah satu siswa yang mendapatkan nilai sempurna dalam pelajaran matematika pada acara perpisahan sekolah kami. Senyum itu sudah menjadi kado yang indah untukku Setelah itu, aku merasa bahwa misi kehidupanku itu belum selesai, sesuai janjiku dahulu. Akhirnya setelah itu saya melanjutkan sekolah saya di SMA N 10 Yogyakarta, walaupun sekolah ini bukan sekolah pilihan pertamaku, tapi  setidaknya aku telah mewujudkan impian ayah ku untuk bisa menyekolahkan anaknya di Kota.
            Lagi-lagi, aku rasa perjuanganku tidak boleh hanya sampai disini saja. Masih banyak hal yang harus aku lakukan. Masih tetap banyaknya cibiran dari tetangga yang merasa bahwa aku bersekolah hanya akan menambahkan beban orang tuaku. Tapi aku sama sekali tidak menghiraukan hal itu, aku masih terus berjuang sendirian mmebuktikan pada Dunia kalau aku dan bahkan siapun bisa dan bebas bermimpi untuk memperebutkan hak pendidikan yang harusnya kita dapatkan.
            Tak ada habisnya pengalaman dan pembelajaran yang aku dapatkan disini ternyata. Aku masih berjuang aktif di Osis dan ekstrakulikuler yang aku minati. Banyak hal yang aku pertaruhkan disini dari mulai aku harus menempuh jarak yang amat jauh untuk menuntuk ilmu di Kota, melewatkan ribuan detik setiap paginya, hingga menerjang macetnya arus transportasi di Kota. Dari sini aku belajar, bahwa tidak ada yang instan dalam memerjuangkan sesuatu dan aku berjanji akan melakukan yang terbaik disini.  
***
            Sudah menyelasaikan mimpi Ayahku untuk bisa bersekolah di Kota ini bukanlah akhir segalanya, masih banyak jalan yang harus aku ambil. Sekarang aku sudah kelas tiga, dan aku tahu kalau sudah ada pintu gerbang kesuksesan disana menunggu untuk aku singgahi. Jenjang pendidikan di sebuah Universitas tentunya adalah sebuah jalur menuju kesuksesan terdekat saat itu yang mungkin bisa ku raih. Mungkin, lagi-lagi kata mungkin yang terucap oleh bibirku yang polos ini. Kenapa harus kata ini lagi yang keluar tiap kali aku memiliki sebuah keinginan.
“Bagaimana tidak? Kuliah itu membutuhkan modal yang sangat besar nantinya. Siapalah aku yang bisa merengek dan meminta kuliah kepada orang tuaku yang setiap harinya hanya berjualan di pasar tradisional, apakah aku mampu meneruskan mimpi ini.” Keluhku lagi-lagi.
Aku hanya takut mengecewakan kedua orang tuaku dengan mimpi ini, tapi aku tahu untuk menjadi sukses itu memang sulit dan aku yakin ketika aku sudah sukses nanti orang tuaku akan bangga terhadapku. Akhirnya kuberanikan diri ini datang menemui kedua orang tua ku untuk mempertanggungjawabkan mimpi-mimpi ini. Aku meminta restu kedua orang tuaku untuk melanjutkan pendidikan ke Universitas yang aku impikan. Benar dugaanku, orang keduaku kaget setengah mati ketika mendengar impiannku, namun mereka menyambut dengan hangat semua cita-citaku ini. Ibu adalah orang pertama yang paling bersemangat ketika mendengar hal itu. Dia berkata padaku bahwa dia masih memiliki simpanan perhiasan yang pernah kugunakan sewaktu kecil, selain itu beliau juga memiliki perhiasan yang jumlahnya tidak terlalu banyak. Jumlahnya memang tidak seberapa tapi jumlahnya mencukupi untuk biaya awal masuk kuliahku.
Saking bersemangatnya aku tak henti-hentinya belajar dan mencari-cari informasi tentang Universitas impianku. Banyak harapan yang tersimpan didalamnya. Aku harus belajar sendiri disaat teman-temannku mengikuti bimbingan belajar dilembaga-lembaga swasta. Aku rasa dengan ini aku harus mampu mengejar cita-citaku.
Semuanya sudah seperti sebuah tradisi, aku harus mengalami beberapa musibah kecil. Tepat satu bulan sebelum aku Ujian Nasional terjadi sebuah pencurian di rumahku, pencuri itu mengambil semua perhiasan yang ibu simpan untuk biaya kuliahku nanti. Semakin tak ada harapan, mimpi ini semakin suram rasanya kala itu. Sempat ku berpikir kalau ini adalah cara Tuhan untuk menegur impianku. Mungkin Allah tidak menakdirkanku untuk duduk dibangku kuliah. Aku sedih dan aku tahu aku semakin berbeda dengan teman-temanku yang lain.
***
Ingin rasanya ku kubur mimpi ini dalam-dalam, walaupun aku tahu masih banyak jalan menuju bangku kuliah. Sakit memang rasanya, tapi aku harus tetap tersenyum dengan teguran Tuhan ini. Aku tahu kalau aku harus bangkit dan tidak boleh berlama-lama dengan hal ini.
Suatu malam saat kedua orang tuaku mengajak aku berbicara tentang impianku berkuliah. Aku sedikit kaku untuk menjawab semuanya.
“Mbak, kamu masih ingin melanjutkan kuliah?”
“Iya yah, masih, tapi aku gak mau nyusahin ayah sama ibu, jadi aku akan kerja saja, mungkin belum rejeki saya”
Dan seketika keheninganpun tercipta, ayah dan ibu tak berkata apa-apa. Aku juga tak mau merengek lagi untuk kuliah. Tiba-tiba dering handpone ini memecah sunyinya malam kala itu.
“Dik, kamu mau masih ingin kuliah?” ucap tanteku bersemangat diujung telepon ini.
            Dengan kakunya aku menjawab iya denga pertanyaan itu.
            “Kuliah lah dik, kejar cita-cita mu. Tante yang akan membiayai semua kuliahmu sampai lulus. Om dan Tante yang akan menanggung semua biaya nya.
            Terlalu polos wajahku saat itu, betapa cepat Tuhan menjawab doa kecilku ini. Aku senang bukan main dengan hal itu. Aku tahu kalau kemarin Allah hanya menguji tekadku untuk berkuliah, dan sekarang Allah membalas semuanya.
***
            Dan disinilah akhirnya saya berdiri menatap mimpi sebagai anak Bangsa negeri ini, Universitas Gadjah Mada, Universitas Kerakyatan Negeri ini. Fakultas terbaik dengan ilmu yang dibutuhkan saat ini. Fakultas Kedokteran Gigi Jurusan Ilmu Keperawatan Gigi. Betapa bangganya hati ini, lagi-lagi bisa mewujudkan impian Ayahku untuk menyekolahkan anaknya di Kota. Yogyakarta namanya, kota pelajar dengan sejuta kenangan didalamnya. Tak akan aku sia-siakan kesempatan ini.
            Masih dengan sejuta harapan akhirnya aku memberanikan diri untuk melamar beasiswa yang disediakan oleh Universitas ini, beasiswa untuk anak yang tidak mampu. Kuotanya masih tersedia beberapa kursi lagi. Dan akhirnya Allah lagi-lagi mengijinkanku menerima kemudahan dan keberkahannya. Aku dinyatakan berhak mendapatkan beasiswa itu. Pendidikanku terjamin oleh Negara hingga aku dinyatakan sarjan esok hari. Tidak henti-hentinya rasa syukur ini terucap oleh keluarga besarku. Terimakasih untuk jalan yang indah ini Tuhan. Aku tahu betapa sayangnya Engkau pada Hamba ini. Tak akan aku sia-siakan semuanya.
            “Berbagilah karena kelak orang yang kamu bantu akan membantu kita juga saat kita kesusahan. minimal doa mereka selalu menyertai langkah-langkahmu, kamu bisa seperti ini karena berbagi, berbagi itu indah, kamu sudah bisa merasakan kedahsyatan dari berbagi, walaupun kita orang susah tapi kita harus terus membantu, banyak orang lain yang lebih menderita dari kita, ketika kita lebih bagikan kesemua. Jangan pernah pelit maka Allah akan membukakan jalan rejeki yang lain untuk orang-orang yang berbagi.
            Tak akan aku lupakan pesan ibu ini untukku. Aku merasakan sendiri ketika aku takut bermimpi, betapa hanya ada wana suram didalam bayangan ini. Jangan pernah takut bermimpi sekalipun kamu berasal dari keluarga yang sederhana. Yakinlah, Allah akan membukakan pintu untuk kita yang berjuang



By : Nhuradiah Diah Purnamasari (Fakultas kedokteran UGM)

TAMAT

2 komentar: