Entah
kata apa yang pantas aku tuliskan untuk
mengawali semua ini, aku merasa
belum memiliki jiwa menjadi pujangga
yang pandai dalam merangkai kata.
Tapi dengan tulisan kecilku ini, aku ingin menyampaikan pesan dan salam cinta
Tuhan untuk Manusia. Pesan nyata tentang takdir Tuhan, pesan tentang cerita
gadis yang ingin menimba ilmu di Kota sana. Ya, menyekolahkan anknya di Kota
sana adalah sebuah cita-cita sederhana yang orang tua ku miliki.
Aku hanyalah seorang gadis biasa,
gadis dengan seorang adik yang terlahir dari keluarga
yang sederhana. Ayahku hanyalah
seorang pedagang kecil di sebuah pasar tradisional yang letaknya jauh dari
perkotaan, Ibuku yang manis ini hanyalah seorang ibu rumah tangga dengan segala
kesibukannya di rumah yang kami tempati selama ini. Tidak ada yang lain, jelas sudah bahwa
semua sumber dana keluarga kami hanya
bertumpu pada hasil penjualan dagangan Ayahku di pasar sana. Mirisnya, aku tidak pernah mengetahui segala sesuatu
tentang keuangan didalam keluargaku, bukannya aku bertindak tidak peduli dengan
semua ini tapi memang kedua orang tuaku itu tidak pernah memberitahukan
apapun tentang ini. Mungkin mereka mau aku tetap fokus
belajar tanpa perlu mengetahui beban keluarga yang ada. Seperti yang pernah
ayah bilang padaku tempo hari.
“Belajarlah
Nak, tuntutlah ilmu setinggi-tingginya. Jangan
hanya mencontoh kedua orang tuamu, Allah maha kaya Nak, Ayah akan selalu
berusaha mencari uang untuk kamu dan adikmu bisa meneruskan mimpi kalian.” Pesan singkat Ayahku yang mampu mengoyakan
hati ini.
Setelah hari itu, aku tidak pernah
lagi membahas masalah keuangan keluarga kami lagi. Yang aku tahu saat itu
adalah, keluarga sederhana ini masih mampu membayar biaya sekolahku dan adikku.
Bahkan kala itupun aku masih sangat bersyukur karena keluarga ini tidak pernah
mengemis pada siapapun karena kekurangan.
Singkat
cerita, kala itu keluarga kami adalah sebuah keluarga yang berkecukupan. Ayahku
yang pekerja keras dulunya pernah bekerja di sebuah Pabrik pengrajin
kayu dan ibuku dengan giatnya bekerja disebuah
toko
tas. Setiap bulannya aku dan adikku mampu membeli mainan
baru dan dengan gembiranya kami pun bermain. Sayangnya, hal ini tidak berlangsung lama.
Masa transisi ini merenggut semua. Bagaikan putaran
sebuah roda, terkadang memang kita harus berada dibawah setelah kemarin kita
berotasi diatas sana. Ayahku saat itu
mengalami sebuah musibah kecil, Beliau akhirnya jatuh
sakit dan tak lama ibu
pun juga harus berhenti dari pekerjaannya. Masa yang sangat sulit
bagi keluarga kami, jangankan untuk mengingat sebuah mainan baru untuk ku dan
adikku, untuk makan sesuap nasi saja kami harus bekerja keras dulu agar
mendapatkannya. Kala itu aku masih duduk dibangku sekolah dasar, masa-masa
kecilku saat itu sudah dipenuhi dengan pembelajaran nyata dari Nya. Sebuah teguran
dan sapaan Sang Pencipta pada makhluknya yang rapuh. Aku tak bisa berbuat
banyak, bahkan aku sempat lupa caranya tersenyum kala itu.
Setelah kesembuhannya, Beliau tidak mau berlama-lama
melihat keluarga kecilnya ini terpuruk dan terandam bersama penderitaan. Banyak
hal yang Ayah lakukan untuk kami, dari mulai menjadi tukang ojeg hingga menjadi penjualan kecil di
pasar dekat rumah kami. Ayah tidak pernah menganggapku sebuah beban hidupnya,
padahal aku yang kala itu baru tahu caranya memegang pensil sering merengek pada Ayah untuk dibelikan
sebuah mainan. Tapi dengan seiringnya waktu, lambat-laun aku sadar dengan
sendirinya. Bahwa aku itu berbeda dengan yang lain, aku berbeda dengan
teman-teman yang bisa dengan mudahnya meminta baju atau mainan baru, aku tidak
bisa seperti temanku yang bisa diantar jemput dengan orang tuanya bahkan di
hari pengambilan ijazahku saja kedua orang tuaku tidak bisa datang menjemput
nilai siswa terbaik di sekolahku ini karena kesibukan mereka mencari nafkah.
Aku sadar seharusnya aku mampu berjalan sendiri, aku
sudah lulus sekolah dasar yang berarti aku sudah mampu mempertanggungjawabkan
hidupku sendiri. Aku tidak mau menyulitkan kedua orang tuaku apapun alasannya,
aku hanya ingin melihat mereka tersenyum bangga pada anak pertamanya ini.
Akhirnya setelah pengambilan ijazah itu aku memberanikan diriku mendatangi
sebuah Sekolah Menengah Pertama impianku yang letaknya tidak jauh dari rumah
kami. Hanya bermodalkan tekad yang kuat dan senyum terbaik ini, dengan percaya
dirinya aku mendaftarkan nilai terbaik ini ke sana. Padahal sebelumnya aku
belum sama seklau mendapatkan restu dari kedua orang tuaku.
Dengan gelisahnya aku pulang dan memberitahu semua ini
pada mereka berdua, dengan penuh harapan mereka senang pilihanku ini. Alhasil
mereka berdua kaget dengan keputusan cepat yang aku ambil sendiri. Mereka
kecewa kenapa aku tidak mendaftar pada sekolah-sekolah yang ada di Kota.
Sebagaimana dengan impian Ayhahku yang ingin melihat anaknya sukses di Kota
sana. Banyak pertimbangan yang aku ambil dengan keputusanku, aku hanya ingin
tetap ada disini dekat dengan kedua orang tuaku, syukur-syukur aku bisa
membantu meringankan beban mereka, belum lagi memikirkan masalah biaya yang
akan dikeluarkan jika aku bersekolah dikota.
“Ayah, maafkan Nura yang belum bisa penuhin impian
Ayah sekarang. Tapi Nura janji Nura bisa mempertanggungjawabkan semuanya ini,
Nura janji akan melanjutkan pendidikan kejenjang yang lebih tinggi. Sekolah ke
Kota sana, sesuai cita-cita Ayah.” Janji kecil hati ini, karena merasa bersalah
melihat kekecewaan Ayah.
***
Aku diterima disekolah impianku itu, ternyata Allah
mendengar segala doa yang aku ucapkan pada-Nya. Rasa syukur dan bahagia tidak
hentinya aku ucapkan pada yang diAtas sana. Aku berjanji tidak akan menghianati
amanah ini, dan aku rasa banyak hal yang harus aku perbuat di sekolah ini.
Mencari ilmu, pengalaman, dan pembelajaran yang nyata sebanyak mungkin. Aku
harus rajin belajar untuk ini semua. Dari mulai mengikuti kegiatan
ekstrakulikuler hingga menjadi pengurus Osis di sekolah ini, bertukar pikiran
dengan kakak tingkatku adalah hal yang menyenangkan bagiku. Disini ternyata aku
menemukan banyak hal hingga keluarga baru. Aku senang menjalani ini semua, aku
rasa aku ikhlas dan aku bangga bisa melakukan banyak hal ini. Sayangnya, kedua
orang tua ku tidak menyukai banyaknya aktivitas yang aku miliki, mereka takut
kesehatan terganggu selain itu merekapun takut kalau saja waktu belajarku
terganggu dengan hal ini. Tapi aku tetap berkeras hati untuk ikut
organisasi ini, dengan sepenuh hati aku
menjelaskan manfaat dari aku mengikuti organisasi ini dan
menyakinkan mereka bahwa semua nya akan baik-baik saja. Dan akhirnya mereka pun ikut bangga dengan apa yang aku lakukan.
Aku memiliki maksud dan tujuan yang bagus untuk
memutuskan ikut bergabung dengan beberapa kegiatan sekolah. Tapi kala itu aku
malah mendapatkan komentar tidak baik dari orang-orang sekitarku tentang
keadaan ini.
“Jadi
anak kok gak ngerti keadaan orangtuanya, dari pada ikut organisasi kayak gitu
mending kerja biar bisa bantu orangtua” pesan
tetanggaku yang sedikit membuatku terguncang.
“Sekejam itukah diriku pada orang tua ku?” Tanyaku
malu-malu pda diriku sendiri.Tapi lagi-lagi kedua orang tua saya menyemangati
diri ini.
“Janganlah
kau masukan ke hati omongan tetangga, mereka hanya melihat luarnya tidak untuk
dalam nya, menjadi orang sukses itu butuh proses dan cobaan, tunjukkan ke
mereka kalau kamu bisa, yang tau kemampuan kamu itu ya kamu sendiri bukan
mereka atau ibu, yang bisa merubah nasib itu kesabaran, keteguhan hati dan
kerja keras kamu, bukan dari bantuan mereka, jadi buat apa kamu memusingkan
omongan mereka, berarti mereka sebenarnya sayang sama kamu dan omongan mereka
kamu jadikan koreksi diri kamu untuk memperbaiki nya”. Pesan yang kembali membuat cair senyuman ini.
Dan akhirnya semua terbukti, prestasiku masih
baik-baik saja dengan segudang aktivitas ini. Nilaiku tidak kalah saing dengan
teman-teman lainnya, bahkan aku masih bisa berada dalam sepuluh besar terbaik
dikelas.
***
Aku lupa menceritakan tentang peri kecilku, adikku
yang manis yang mampu memecah keheningan, selalu
menyejukan hati setiap orang yang
mendengar celotehnya, selalu bersabar walaupun selalu
disakiti dan di jahili oleh sepupu-sepupunya. Dia masih sangat kecil, umurnya
baru empat tahun kala aku berusia sepuluh tahun. Gempa besar yang melanda Kota
ku Jogja itu telah merengut senyuman kecil keluarga ini. Ya, aku dan keluargaku
ditinggal pergi oleh adik satu-satunya yang aku miliki itu. Dia meninggalkan
aku tepat satu bulan sebelum aku menghadapi Ujian Nasional SD.
Banyak pesan sebelum dia pergi pada kami yang berada
disekitarnya, pesan yang memang Allah sampaikan lewat celotehan kecilnya itu.
Beberapa pesan yang tak dapat aku sampaikan adalah, sebuah pesan singkatnya
pada Pamanku. Betapa aku masih mengingat kata-katanya itu.
“Om kamu tuh tobat sebentar lagi itu
kiamat, Allah akan menghukum orang-orang yang berbuat dosa, sebentar lagi itu
kiamat Om, buruan tobat biar masuk surga.”
Pesan yang ini terlalu mengagetkan keluarga kami
semua, adikku yang kala itu masih berumur empat tahun itu mungkin sebenarnya
tidak mengetahui arti tentang kiamat. Yang dia tahu adalah Pamanku seorang
pejudi dan pemabuk.
Betapa singkatnya pertemuan kami berdua, banyak hal yang ingin aku
lakukan bersama dia sebenarnya. Aku belum sempat mengajarkan dia caranya
mencuci tangan, menghitung jumlah warna pelangi, bahkan aku belum sempat
mengajarkan dia apa iti arti seorang kakak. Tapi aku tahu
Allah lebih sayang dengan dia maka dari itu dia dipanggil pulang
dan aku hanya berdoa semoga dia mendapat
surga-Nya disana.
***
Betapa sayangnya Tuhan
dengan hamba-Nya yang satu ini, cobaan dan teguran darinya tidak pernah ada
habisnya mewarnai hidup ini. Tiga tahun silam, tepat satu bulan sebelum aku
menempuh Ujian Nasional SD, aku harus kehilangan adikku satu-satunya. Sekarang
diwaktu yang sama, satu bulan sebelum Ujian Nasional SMP ini aku mengalamai
kecelakan yang membuat saya harus berjalan dengan alat bantu. Tapi hal ini
tidak mematahkan semangatku. Selagi aku masih bisa tersenyum aku tidak akan
berhenti membuat kedua orang tuaku bangga, aku berusaha untuk bisa lulus dengan
nilai terbaik disini. Sampai pada akhirnya aku bisa lulus dengan baik dan
mendapatkan nilai sempurna pada ujian matematika, sebuah mata kuliah yang
sangat dihindari oleh murid SMP.
Bahagia itu
sederhana, ketika melihat senyum bangga kedua orangtuaku saat
namaku disebut sebagai salah satu siswa yang mendapatkan nilai sempurna dalam
pelajaran matematika pada acara perpisahan sekolah kami. Senyum
itu sudah menjadi kado yang indah untukku Setelah
itu, aku merasa bahwa misi kehidupanku itu belum selesai, sesuai janjiku
dahulu. Akhirnya setelah itu saya melanjutkan sekolah saya di SMA N 10
Yogyakarta, walaupun sekolah ini bukan sekolah pilihan
pertamaku, tapi setidaknya aku telah mewujudkan impian ayah ku untuk
bisa menyekolahkan anaknya di Kota.
Lagi-lagi, aku rasa
perjuanganku tidak boleh hanya sampai disini saja. Masih banyak hal yang harus
aku lakukan. Masih tetap banyaknya cibiran dari tetangga yang merasa bahwa aku
bersekolah hanya akan menambahkan beban orang tuaku. Tapi aku sama sekali tidak
menghiraukan hal itu, aku masih terus berjuang sendirian mmebuktikan pada Dunia
kalau aku dan bahkan siapun bisa dan bebas bermimpi untuk memperebutkan hak
pendidikan yang harusnya kita dapatkan.
Tak ada habisnya
pengalaman dan pembelajaran yang aku dapatkan disini ternyata. Aku masih
berjuang aktif di Osis dan ekstrakulikuler yang aku minati. Banyak hal yang aku
pertaruhkan disini dari mulai aku harus menempuh jarak yang amat jauh untuk
menuntuk ilmu di Kota, melewatkan ribuan detik setiap paginya, hingga menerjang
macetnya arus transportasi di Kota. Dari sini aku belajar, bahwa tidak ada yang
instan dalam memerjuangkan sesuatu dan aku berjanji akan melakukan yang
terbaik disini.
***
Sudah menyelasaikan
mimpi Ayahku untuk bisa bersekolah di Kota ini bukanlah akhir segalanya, masih
banyak jalan yang harus aku ambil. Sekarang aku sudah kelas tiga, dan aku tahu
kalau sudah ada pintu gerbang kesuksesan disana menunggu untuk aku singgahi. Jenjang
pendidikan di sebuah Universitas tentunya adalah sebuah jalur menuju kesuksesan
terdekat saat itu yang mungkin bisa ku raih. Mungkin, lagi-lagi kata mungkin
yang terucap oleh bibirku yang polos ini. Kenapa harus kata ini lagi yang
keluar tiap kali aku memiliki sebuah keinginan.
“Bagaimana tidak? Kuliah itu membutuhkan modal yang
sangat besar nantinya. Siapalah aku yang bisa merengek dan meminta kuliah
kepada orang tuaku yang setiap harinya hanya berjualan di pasar tradisional,
apakah aku mampu meneruskan mimpi ini.” Keluhku lagi-lagi.
Aku hanya takut mengecewakan kedua orang tuaku dengan
mimpi ini, tapi aku tahu untuk menjadi sukses itu memang sulit dan aku yakin
ketika aku sudah sukses nanti orang tuaku akan bangga terhadapku. Akhirnya
kuberanikan diri ini datang menemui kedua orang tua ku untuk
mempertanggungjawabkan mimpi-mimpi ini. Aku meminta restu kedua orang tuaku
untuk melanjutkan pendidikan ke Universitas yang aku impikan. Benar dugaanku,
orang keduaku kaget setengah mati ketika mendengar impiannku, namun mereka
menyambut dengan hangat semua cita-citaku ini. Ibu adalah orang pertama yang
paling bersemangat ketika mendengar hal itu. Dia berkata padaku bahwa dia masih
memiliki simpanan perhiasan yang pernah kugunakan sewaktu kecil, selain itu beliau
juga memiliki perhiasan yang jumlahnya tidak terlalu banyak. Jumlahnya memang
tidak seberapa tapi jumlahnya mencukupi untuk biaya awal masuk kuliahku.
Saking bersemangatnya aku tak henti-hentinya belajar
dan mencari-cari informasi tentang Universitas impianku. Banyak harapan yang
tersimpan didalamnya. Aku harus belajar sendiri disaat teman-temannku mengikuti
bimbingan belajar dilembaga-lembaga swasta. Aku rasa dengan ini aku harus mampu
mengejar cita-citaku.
Semuanya sudah seperti sebuah tradisi, aku harus
mengalami beberapa musibah kecil. Tepat satu bulan sebelum aku Ujian Nasional
terjadi sebuah pencurian di rumahku, pencuri itu mengambil semua perhiasan yang
ibu simpan untuk biaya kuliahku nanti. Semakin tak ada harapan, mimpi ini
semakin suram rasanya kala itu. Sempat ku berpikir kalau ini adalah cara Tuhan
untuk menegur impianku. Mungkin Allah tidak menakdirkanku untuk duduk dibangku
kuliah. Aku sedih dan aku tahu aku semakin berbeda dengan teman-temanku yang
lain.
***
Ingin rasanya ku kubur mimpi ini dalam-dalam, walaupun
aku tahu masih banyak jalan menuju bangku kuliah. Sakit memang rasanya, tapi
aku harus tetap tersenyum dengan teguran Tuhan ini. Aku tahu kalau aku harus
bangkit dan tidak boleh berlama-lama dengan hal ini.
Suatu malam saat kedua orang tuaku mengajak aku
berbicara tentang impianku berkuliah. Aku sedikit kaku untuk menjawab semuanya.
“Mbak,
kamu masih ingin melanjutkan kuliah?”
“Iya
yah, masih, tapi aku gak mau nyusahin ayah sama ibu, jadi aku akan kerja saja,
mungkin belum rejeki saya”
Dan seketika keheninganpun tercipta, ayah dan
ibu tak berkata apa-apa. Aku juga tak mau merengek lagi untuk kuliah. Tiba-tiba dering handpone ini memecah sunyinya malam kala itu.
“Dik,
kamu mau masih ingin kuliah?” ucap tanteku bersemangat
diujung telepon ini.
Dengan kakunya aku
menjawab iya denga pertanyaan itu.
“Kuliah lah dik,
kejar cita-cita mu. Tante yang akan membiayai semua kuliahmu
sampai lulus. Om dan Tante yang akan menanggung semua biaya nya.”
Terlalu polos
wajahku saat itu, betapa cepat Tuhan menjawab doa kecilku ini. Aku senang bukan
main dengan hal itu. Aku tahu kalau kemarin Allah hanya menguji tekadku untuk
berkuliah, dan sekarang Allah membalas semuanya.
***
Dan disinilah akhirnya
saya berdiri menatap mimpi sebagai anak Bangsa negeri ini, Universitas Gadjah
Mada, Universitas Kerakyatan Negeri ini. Fakultas terbaik dengan ilmu yang
dibutuhkan saat ini. Fakultas Kedokteran Gigi Jurusan Ilmu Keperawatan Gigi. Betapa
bangganya hati ini, lagi-lagi bisa mewujudkan impian Ayahku untuk menyekolahkan
anaknya di Kota. Yogyakarta namanya, kota pelajar dengan sejuta kenangan
didalamnya. Tak akan aku sia-siakan kesempatan ini.
Masih dengan sejuta
harapan akhirnya aku memberanikan diri untuk melamar beasiswa yang disediakan
oleh Universitas ini, beasiswa untuk anak yang tidak mampu. Kuotanya masih
tersedia beberapa kursi lagi. Dan akhirnya Allah lagi-lagi mengijinkanku
menerima kemudahan dan keberkahannya. Aku dinyatakan berhak mendapatkan
beasiswa itu. Pendidikanku terjamin oleh Negara hingga aku dinyatakan sarjan
esok hari. Tidak henti-hentinya rasa syukur ini terucap oleh keluarga besarku.
Terimakasih untuk jalan yang indah ini Tuhan. Aku tahu betapa sayangnya Engkau
pada Hamba ini. Tak akan aku sia-siakan semuanya.
“Berbagilah
karena kelak orang yang kamu bantu akan membantu kita juga saat kita kesusahan.
minimal doa mereka selalu menyertai langkah-langkahmu, kamu bisa seperti ini
karena berbagi, berbagi itu indah, kamu sudah bisa merasakan kedahsyatan dari
berbagi, walaupun kita orang susah tapi kita harus terus membantu, banyak orang
lain yang lebih menderita dari kita, ketika kita lebih bagikan kesemua. Jangan
pernah pelit maka Allah akan membukakan jalan rejeki yang lain untuk
orang-orang yang berbagi.”
Tak akan aku lupakan
pesan ibu ini untukku. Aku merasakan sendiri ketika aku takut bermimpi, betapa
hanya ada wana suram didalam bayangan ini. Jangan pernah takut bermimpi
sekalipun kamu berasal dari keluarga yang sederhana. Yakinlah, Allah akan
membukakan pintu untuk kita yang berjuang
By : Nhuradiah Diah Purnamasari (Fakultas kedokteran UGM)
TAMAT
Bagus. Lanjutkan
BalasHapusTerimakasih, mari bantu publikasikan untuk semua orang
BalasHapus