Rabu, 29 Januari 2014

Ini untuk Ayah



            Satu, dua, tiga bahkan ribuan pertanyaan banyak telontar tentang diriku. Semua orang tanpa terkecuali kala itu bertanya-tanya tentang sebuah impian yang aku miliki, sebuah impian tentang perjuangan. Aku juga bingung, entah apa yang mereka inginkan dari pertanyaan  yang hanya dapat membuat hati keluargaku itu tersayat. Mereka bilang aku ini hanya anak miskin yang tak mungkin dapat meneruskan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, mereka bilang aku anak orang kampung yang tidak mungkin sanggup menyekolahkan anaknnya, dan mereka berkata lagi dan terus-menerus tanpa hentinya. Tuhan, aku tidak tahu salahku dimana sehingga banyak orang meremehkan kualitas pribadi keluargaku.



            Aku adalah anak seorang perantau di kota besar, Kota Bekasi namanya. Kota kawasan industri yang berada persis disekitaran Ibu Kota. Ya, ayah dan ibuku tidak lain adalah seorang pegawai di sebuah perusahaan swasta dan mereka tinggal bersama adikku disana, meninggalkan aku yang harus bersekolah di Desa ini. Ke dua orang tuaku telah bekerja selama kurang lebih duapuluh tahun diperusahaan itu. Lama sudah pengabdian orangtuaku pada perusahan tersebut. Namun Tuhan berkata lain, Perusahan itu mengalami kebangkrutan sampai pada akhirnya mereka merumahkan seluruh pegawainya tanpa terkecuali. Seluruh pegawainya, termasuk ayah dan ibuku. Hal ini adalah suatu pukulan yang amat besar bagi keluargaku, di mana lagi tempat keluargaku harus mencari rezeki.  

            Tak tega aku melihatnya, aku yang kala itu memiliki harapan dan impian tinggi untuk berkuliah harus mengubur dalam-dalam hal itu. Aku hanya tak ingin menjadi parasit dalam keluargaku, aku juga tidak ingin menjadi beban untuk mereka apalagi ibuku saat itu baru saja melahirkan seorang adik baruku. Kasihan adikku, keadaan ini tidak menyambut baik kedatangannya. Tak ada yang bisa disalahkan dengan ini semua, sekarang yang kurasa impian tak lagi menjadi sebuah harapan, dan impian hanya tetap menjadi sebuah impian.
***
            Lambat-laun detik jam itu terus berputar, putarannya cepat tak bisa terkendali bahkan untuk satu helaan nafas pun. Ibu bilang kita masih bisa bermain dengan kecepatan angin tapi tidak dengan gerakan sang waktu. Tak terasa, aku sudah melewatkan hari-hari mengejar impianku dengan segala keputus asaan. Ingin rasanya terus bangkit bersama yang lain melawan ketidak berdayaan ini. Namun apa yang aku miliki? Tak ada kurasa. 

            Kemabalinya kedua orangtuaku ke kampung halaman sedikit membuat aku senang dan bersemangat. Yah, setidaknya walau harus merasa kekurangan, aku masih bisa berkumpul bersama-sama mereka. Banyak hal yang ingin aku lakukan bersama mereka dikampung halaman ini. Setidaknya nanti akan ada Ayah yang mengambil ijazahku ketika aku lulus nanti.

            Kuberanikan menghadap kedua orangtuaku untuk lagi-lagi mencoba mengutarakan impianku bersekolah nanti. Awalnya aku khawatir rencana ini akan mengundang kesedihan dalam diri mereka. Namun aku lakukan juga kahirnya, agar aku mendapatkan restu belajar dari kedua orang tuaku. Harapku, ini dapat menambah semangat dalam hidupku. Pelan-pelan ku utarakan semuanya, hingga mencapai tujuan akhirnya yaitu aku ingin berkuliah. Tak kusangka ternyata reaksi ibuku sangat baik, beliau menyambut hangat impian ini. Impian yang aku harap bisa merubah segala hal dalam hidup keluarga kita.

            “Nak, jika keinginan kuliah mu sangat besar, Ibu akan selalu berdoa untukmu. Untuk masalah biaya, Ibu akan perjuangkan Nak. Kamu jangan khawatir ya, sebisa mungkin Ibu dan Bapak akan perjuangkan kamu untuk bisa kuliah”. Sambut salam hangat ibuku.

            Ingin rasanya aku menangis kala itu juga namun aku tahan dan mulai menggoretkan senyum lagi, untuk membangkitkan semangat belajar dalam diri ini. Aku merasa telah banyak membuat orang tuaku kesusaha memikirkan aku dari sana. Di saat adikku juga perlu biaya untuk sekolah aku malah merengek meminta izin untuk bisa berkuliah. Gaji Bapak Ibuku kemarin bukanlah seberapa jika dibandingkan dengan gaji orang tua anak-anak lain. Jangankan untuk investasi masa depan atau manabung untuk tercukupinya makan sebulan penuh kami sekeluarga saja itu sudah lebih dari cukup. Apalagi kini mereka telah di PHK oleh perusahaan tempat mereka mengabdi kemarin. Sudahlah, aku rasa aku memang harus berusaha lebih dari orang lain lagi. Aku harusnya sadar kalau aku berbeda aku tak lagi seperti dulu atau seperti teman-temanku saat ini. Aku harus mengusahakan segalanya untuk mendapatkan yag terbaik. Akhirnya semangat kuliahku bertambah seiring dengan berjalannya waktu karena restu dari ibu kemarin.

            Sebenarnya, tujuanku untuk melanjutkan kuliah bukanlah tidak beralasan. Banyak sekali faktor yang membuatku berani untuk terus memperjuangkan hak ku menjadi seorang mahasiswa. Aku dengan membawa nama keluargaku dari dulu selalu berusaha untuk menjadi yang terbaik di sekolahku. Aku selalu mendapatkan peringkat pertama di kelas sejak SMP, walau terkadang aku hanya bisa masuk kedalam tiga besar terbaik dikelas. Prestasi akademikku ini selalu membuat bangga orang tuaku sehingga membuat mereka berjuang untuk bisa membuat aku kuliah bagaimanapun caranya. Aku juga sejak SD sering ditunjuk oleh guru untuk mengikuti lomba mewakili sekolah, meskipun  aku belum pernah menjuarai semua olimpiade yang aku ikuti, tapi aku bangga. 

            Wali kelasku datang menemuiku di sekolah. Dia menanyakan dan memeberitahukan beberapa hal kepadaku. Pembicaraan itu sangat singkat namun menimbulkan bekas yang teramat bagi diri ini. Pembicaraan kami dimulai dengan pertanyaan dari Beliau tentang kesungguhan niatku untuk berkuliah.
            “Iya bu. Kuliah itu adalah sebuah keinginan saya, saya ingin menjadi seorang mahasiswa.” Jawabku, sambil menunjukan tekad yang luar biasa kuatnya. Namun tekad yang telah kusulam sekuat baja tersebut harus memuai begitu saja dengan pernyataan yang terlontar jujur dari mulut Beliau.

            Kemarin Ibu sudah banyak berbincang-bincang dengan Ayah Erina, beliau menangis di depan Ibu. Ayah Erina bilanh kalau Erina sangat ingin sekali kuliah, tetapi beliau belum bisa menyanggupinya. Beliau belum tau apakah ada biaya untuk mewujudkan keinginan Erina karena Beliau tidak memiliki cukup uang untuk membiayai Erina kuliah kelak.” Belum sempat beliau menyelesaikan perkataanya, aku pun menjawab dengan sedikit menahan tangis.

            “Saya paham bu, ini sangat berat bagi keluarga saya. Tapi mimpi ini saya juga, untuk orang tua saya bu. Untuk memebanggakan mereka, kerana saya tahu saya tidak bisa menjadi apa-apa dengan hanya bermodalkan ijazah SMA.”

            Wali kelasku tak dapat berkata banyak, beliau hanya memelukku dan memeberi aku beberapa saran agar aku terus memperjuangankan impian ini. Aku harus berusaha sekuat tenagaku, guruku juga memperingatkanku agar aku terus mencari informasi seputaran beasiswa yang pasti ada untuk menunjang pendidikanku di Universitas.

            Sampai pada akhirnya aku harus mengerutkan tekad yang lebih kuat lagi, ku rasa cita-cita ini sudah berada berdiri didepanku persis. Aku menemukan satu beasiswa yang aku rasa dapat menanggung seluruh biaya pendidikanku hingga lulus nanti. Bukan satu melainkan banyak sekali beasiswa yang tersebar merata nantinya. Batin ini serasa diisi oleh air yang jenih yang mampu menjernihkan tekad bulat ini. Aku pun kembali bersemangat untuk terus menggapai cita-cita ini.
***
Aku hanya manusia biasa yang dapat berusaha untuk dapat merubah takdir yang ada. Lagi-lagi keluarga kami mendapat cobaan yang menguras segala emosi dan pikiran ini. Ya, aku sudah menyerahkan semuanya kepada yang diatas dan aku tahu, kalau aku harus menerima segalanya yang Tuhan berikan kepada kami dengan ikhlas dan lapang dada. Walaupun aku rasa aku sudah lelah dengan semua ini, aku merasa segala impianku tidak terwujud karena halangan yang tidak pernah terus berhenti singgah dihadapan kami. Belum selesai masalah PHK kedua orang tuaku, kini Ayah harus jatuh sakit. Sakit yang mengharuskan beliau di rawat di salah satu rumah sakit. Beriau mengalami penyakit TBC (Tuberculosis), sudah sampai tingkat akut ternyata. Oh Tuhan, ditengah semnagat menggebu-gebu ini ternyata aku harus mengalami terjalanya lembah dulu sebelum aku sampai ke bukit yang tinggi nanti. Aku sudah tak dapat berbuat banyak dengan ini semua. Sebelumnya kami sekeluarga tidak pernah mengetahui hal ini. Ayah menyembunyikan semuanya  dari kami, dia hanya bertindak biasa-biasa saja seolah tidak ada hal buruk yang terjadi pada dirinya. Ternyata Ayah selama ini tidak pernah memikirkan keadaan tentang dirinya karena dia mendahulukan kepentingan keluarga.

            Kini, ayah harus keluar-masuk rumah sakit untuk menjalani perawatan intensif dari dokter. Keadaannya semakin hari semakin buruk, aku pikir aku sudah mati rasa dengan segala impianku kala itu karena melihat kondisi orang terdekatku yang harus terbaring lemah menahan sakitnya. Tak hanya sampai situ, ternyata ayah di vonis menderita penyakit Diabetes Mellitus (penyakit gula), yang mengharuskan beliau disuntik insulin setiap harinya. Saat itu, entah sudah berapa besar biaya yang telah kami keluarkan untuk pengobatan bapak. Semua biaya yang digunakan berasal dari uang pesangon perusahaan yang didapat bapak dan ibu sebelum mereka di-PHK. Ternyata keadaan Bapak semakin memburuk dengan seringnya Beliau berkeringat dan kemudian tidak sadarkan diri secara tiba-tiba. Hal tersebut sangat membuat keluargaku (termasuk aku) sangat khawatir. Padahal aku telah merencanakan hal-hal indah yang akan aku lalui bersama dengan ayahku setelah sekian lama kami tak jumpa. Aku takut aku dan Ayah tidak bisa mewujudkan semua rencana-rencana itu.

            Sepulang sekolah aku sering menyempatkan diri untuk pergi menjenguk ayah di rumah sakit. Aku merasa, ayah membutuhkan aku disampingnya. Aku sebagai anak pertamalah yang memang seharusnya mengabdi padanya di saat-saat sekarang. Pada suatu sore, saat aku menemani Ayah di rumah sakit. Ayah menceritakan masa lalu yang kita lalui bersama. Masa-masa kecilku yang manis yang dilewati bersama Beliau hingga menceritakan cita-citaku nantinya. Aku memang sangat merasa sedih kala aku harus mengingat kejadian-kejadian yang aku lalui bersamanya, namun disisi hal aku sangat senang dengan semua ini tak pernah rasanya aku sedekat ini dengan Ayah. Tak pernah ayah bercerita panjang lebar tentang satu hal. Lalu beliau berkata sebuah kalimat yang akan selalu aku kenang.

“Rin, Bapak bangga sama kamu. Bapak harap kamu bisa menjadi contoh bagi adek-adekmu kelak. Bapak sangat bersyukur memiliki seorang putri seperti kamu. Apapun yang ada di hadapan kamu, jalani saja. Carilah jalan termudah, Bapak yakin kamu bisa menggapai cita-citamu itu. Percayalah Bapak dan Ibu selalu berdoa untukmu, sayang.”
 
Rasanya aku sudah tidak kuat menahan arus air yang akan keluar dari pelupuk mata ini, aku tak kuat mendengar ucapan Ayah itu. Aku tersenyum seolah-olah aku kuat, aku tak ingin Ayah melihat diri ini sangat lemah. Ayah memintaku untuk menyiapkan air yang akan Beliau gunakan untuk membasuh dirinya. Aku membantunya juga melangkah menuju kamar mandi. Sungguh rasanya perih hati ini melihat ayahku tertatih tatih berjalan ke ranjang tempat tidurnya dengan meringis kesakitan. Sungguh menyayatkan hati bahwa aku tak pernah memikirkan bagaimana aku bisa membalas jasa-jasa mereka. Terlepas dari keinginanku untuk melanjutkan kuliah. Aku harus tetap memperjuangkan hal itu agar aku bisa membanggakan mereka dan mendapatkan pekerjaan yang lebih layak kelak.

            Ketika ayah harus bertahan dengan sakitnyanya yang semakin hari semakin menggrogoti kesehatan Ayah, lagi-lagi keluargaku mengalami musibah yang luar biasa membuat kami harus semakin kuat menjalani hari ini. Ibu mengalami kecelakan yang membuat pergelangan tangan ibu patah. Kami tak memberitahukan hal ini pada Ayah, takut-takut penyakitnya semakin memburuk.

Aku bertanya kepada Allah tentang mengapa semua ini harus terjadi padaku, sehingga aku berpikir bahwa mungkin Kau sedang berusaha untuk memperingatkanku agar aku tidak usah melanjutkan mimpi-mimpiku lagi. Atau pikirku semua ini adalah maksud tersembunyi dari-Mu. Entahlah apapun itu aku yakin, janjiMu adalah pasti ya Allah. Batinku lirih seiring bergejolaknya konflik di hati ini.

Aku terus setia merawat ayah. Walaupun ibu tidak pernah pergi menjenguk karena ibu takut kalau ayah mengetahui hal ini. Aku tekadang menunjukan nilai-nilai sekolah yang aku peroleh. Aku ingin membuat ayah bangga dengan diriku, aku ingin ayah senantiasa tersenyum melihat keberhasilanku. 

“Pak, Erin janji besok ujian nasional lebih baik. Pasti besok ujian nasional Erin bisa dapet 9 semua pak, tapi Bapak janji ya. Besok bapak yang ngambil ijazah Erin, bapak cepet sembuh ya!” Kataku lemas pada ayah yang menjawab janjiku dengan senyuman dan anggukan kecilnya. Ayah juga tersenyum kala itu menahan sakitnya didepanku.
***
Hari-hari ayah lalui dirumah sakit tanpa kehadiran ibu. Akhirnya ibu harus memberanikan diri menemui ayah dirumah sakit, alhasil ayah yang telah jenuh dengan segala perwatan meminta pulang dan ingin dirinya dirawat dirumah saja. Keadaan ayah tidak semakin baik, ayah sering sekali tiba-tiba pingsan saat perawatan. Tak banyak yang dilakukan dokter kala itu untuk menyembuhkan ayah, sampai pada akhirnya kami semua menyetujui permintaan ayah dan memebawa ayah pulang kerumah.

Aku merasa bersalah, yang kala itu tidak bersikap manis dirumah dengan keadaa ayah yang seprti itu. Aku sering berkelahi dengan adikku meributkan hal yang seharusnya tidak diributkan. Aku sangat menyesal, tapi ayahku tak berkata apapun. Ayah hanya tersenyum pada kami. Sungguh, diamnya membuatku merasa bersalah sangat dalam. Keadaan ayahku tidak juga membaik di rumah, beliau sudah tidak bisa berjalan lagi sedangkan yang mengurus beliau adalah nenekku. Ibuku sibuk mengurusi adikku yang masih kecil. Ayah yang tak dapat berbuat banyak selalu di gendong oleh adik nenekku untuk berpindah tempat.
Suatu sore, tepatnya azan magrib. Aku membangunkan ayah yang tertidur pulas, aku memberitahu bahwa ada saudara jauh yang datang ke rumah. Aku mengajak beliau makan untuk mengisi kekosongan perutnya karena sedari pagi ayah tidak mau makan. Pelan-pelan aku menyuapi ayah dengan makanan yang saudaraku bawa, tapi sayang tak ada makanan yang bisa masuk kedalam perutnya. Ayah selalu memuntahkan kembali makanan yang telah ia kunyah.
“Rin, udah yah ayah kenyang gak mau makan. Buat kamu dan adek-adekmu saja ya.” Seru ayah yang aku rasa sedang berbohong tentang isi perutnya.
“Bapak harus makan, katanya bapak pengen sembuh. Nanti kan bapak yang mau ambil ijazah Erin kan? Bapak inget janji itu kan ?” Bisikku dengan nada yang sangat lembut padanya. Namun hanya senyuman yang beliau berikan sebagai jawban. 

            Lemas rasanya jiwa ini, setelah tahu bahwa perbincangan dan senyuman ayah kemarin adalah yang terakhir yang aku lihat. Ayah dinyatakan meninggal pagi harinya, Ya, meninggal dunia, aku takkan pernah bisa melihat beliau lagi. Aku tahu aju takkan pernah bisa tersenyum di hadapan ayah lagi, dan aku takkan pernah bisa melihat beliau tersenyum. Aku sedih, karena aku takkan pernah bisa membawa piala kebanggaanku di depan beliau lagi. Mirisnya lagi ayah tak menepati janjinya untuk mengambil ijazah saat kelulusan nanti.
***
            Sejak kejadian itu aku tak bisa berkonsentrasi belajar, padahal bulan depan aku harus menghadapi Ujian Nasional. Aku depresi, aku menyatakan bahwa aku tak ingin sekolah lagi. Aku bahkan membuang jauh-jauh impianku berkuliah.
Aku menangis tersedu-sedu ketika aku ditelepon oleh tanteku yang berada di Papua.
“ Lho, kan Erin sendiri yang janji pada bulek suatu saat Erin akan datang ke depan rumah bulek sambil membunyikan klakson mobil, Erin inget janji itu kan ? Bulek pengen Erin jadi orang sukses. Kamu emang gak bakal melihat Bapak tersenyum, tapi beliau akan senang dan tersenyum jika melihat putrinya sukses. Beliau akan tersenyum di surga, Rin. Kalau Erin sedih, terus gak mau sekolah apalagi gak mau memperjuangkan cita-cita erin. Bapak akan menangis disana. Erin harus kuat, bulek tau ini berat, semua yang terjadi pada Erin terlalu berat untuk dijalani, tapi bulek tau Allah ngasih ini ke Erin karena Allah yakin Erin bisa menghadapinya, menghadapinya dengan senyuman.” Terdengar isak tangis di seberang telepon. Aku hanya bisa menangis di telepon. 

Bulek yakin Erin bisa, tunjukkan pada semuanya kalau Erin bisa, Erin kuat dan Erin patut dibanggakan!” Ucapnya lagi yang membuat aku lirih.
Setelah perbincangan yang cukup lama dengan bulek ku di telepon, aku menutup telepon dan menghapus air mataku. Aku bertekad untuk mewujudkan janji-janjiku kepada semuanya, terutama kepada ayahku disana. Aku duduk di kursi belajarku dan mulai menggoreskan tinta ilmu pengetahuan di ingatanku. Hari ujian makin dekat dan aku hanya bisa pasrah terhadap apa yang telah aku pelajari selama ini dan berdoa agar diberi kemudahan serta kelancaran ketika mengerjakannya. 

Empat hari ujian telah terlewati, tinggal menunggu hasil. Hari pengumuman juga semakin dekat, aku sedih ayahku tak bisa datang menyaksikan aku diwisuda dari SMA ku. Tapi ada om ku yang bersedia datang unutk menggantikan posisi ayahku sebagai wali. Aku mendapatkan juara dan piala. Aku cukup senang, tapi tak ada ayahku di sampingku. Yang aku pikirkan saat itu, apakah aku berhasil lolos di SNMPTN?
            Sampai pada akhirnya Allah menjawab pertanyaanku, aku dinyatakan lolos SNMPTN. Aku sangat senang seklai dan aku yakin, ayahku pasti bangga denganku. Aku tak akan mengecewakan beliau disini. Aku diterima di prodi Geofisika Universitas Gadjah Mada, sebuah universitas yang sangat terkenal akan prestasinya yang melanglang buana baik secara nasional maupun internasional. Dan aku mendapatkan kesempatan besar untuk menjadi salah satu bagian dari Universitas besar ini, universitas yang menjadi kebanggaan Indonesia ini. Tak ada lagi beban hidupku, tanggungan biaya kuliah sudah menjadi jaminan Negara.
            “Aku dibiayai oleh pemerintah, yang berasal dari uang rakyat. Berarti aku berhutang budi dengan rakyat yang akan telah membiayai kuliahku sampai lulus. Itu artinya semakin besar juga tanggung jawabku, bukan hanya kepa keluarga ku melainkan kepada rakyat Negara ini.” Gumamanku itu yang membuatku semangat untuk segera bisa lulus, dan bekerja serta mengabdi kepada rakyat yang telah membiayaiku dan membantu melanjutkan kuliahku.

            Banyak hal yang telah Tuhan anugerahkan padaku, apapun itu rintangan yang nanti aku hadapi, sekeras apapun itu, seberat apapun itu, aku harus mengahadapinya. Takkan sekalipun aku mundur dan  takkan aku lihat rintangannya, tapi lihatlah pada tujuan yang ingin aku raih. Tuhan mengujiku dengan memberikan banyak cobaan berat untuk menunjukkan bahwa aku adalah hamba yang kuat, aku adalah hamba yang mulia. Aku percaya apa pun usaha ku untuk meraih tujuanmu pasti akan dihitung pahala oleh Allah. Dan aku yakin segala doa yang selalu ku panjatkan selama ku sholat pasti akan dikabulkan oleh Allah swt. Percayalah kepada-Nya, tak ada segala sesuatu yang sia-sia menurut-Nya.

"Ayah, ini untukmu ayah" 

Erina Prastyani
Geofisika MIPA UGM 2013





Tidak ada komentar:

Posting Komentar