Satu,
dua, tiga bahkan ribuan pertanyaan banyak telontar tentang diriku. Semua orang
tanpa terkecuali kala itu bertanya-tanya tentang sebuah impian yang aku miliki,
sebuah impian tentang perjuangan. Aku juga bingung, entah apa yang mereka
inginkan dari pertanyaan yang hanya
dapat membuat hati keluargaku itu tersayat. Mereka bilang aku ini hanya anak
miskin yang tak mungkin dapat meneruskan pendidikan ke jenjang yang lebih
tinggi, mereka bilang aku anak orang kampung yang tidak mungkin sanggup
menyekolahkan anaknnya, dan mereka berkata lagi dan terus-menerus tanpa
hentinya. Tuhan, aku tidak tahu salahku dimana sehingga banyak orang meremehkan
kualitas pribadi keluargaku.
Aku
adalah anak seorang perantau di kota besar, Kota Bekasi namanya. Kota kawasan
industri yang berada persis disekitaran Ibu Kota. Ya, ayah dan ibuku tidak lain
adalah seorang pegawai di sebuah perusahaan swasta dan mereka tinggal bersama adikku disana, meninggalkan aku yang harus bersekolah di
Desa ini.
Ke dua orang tuaku telah bekerja selama kurang lebih duapuluh tahun
diperusahaan itu. Lama sudah pengabdian orangtuaku pada perusahan tersebut.
Namun Tuhan berkata lain, Perusahan itu mengalami kebangkrutan sampai pada
akhirnya mereka merumahkan seluruh pegawainya tanpa terkecuali. Seluruh
pegawainya, termasuk ayah dan ibuku. Hal ini adalah suatu pukulan yang amat
besar bagi keluargaku, di mana lagi tempat keluargaku harus mencari rezeki.
Tak tega aku melihatnya, aku yang
kala itu memiliki harapan dan impian tinggi untuk berkuliah harus mengubur
dalam-dalam hal itu. Aku hanya tak ingin menjadi parasit dalam keluargaku, aku
juga tidak ingin menjadi beban untuk mereka apalagi ibuku saat itu baru saja
melahirkan seorang adik baruku. Kasihan adikku, keadaan ini tidak menyambut
baik kedatangannya. Tak ada yang bisa disalahkan dengan ini semua, sekarang yang
kurasa impian tak lagi menjadi sebuah harapan, dan impian hanya tetap menjadi
sebuah impian.
***
Lambat-laun
detik jam itu terus berputar, putarannya cepat tak bisa terkendali bahkan untuk
satu helaan nafas pun. Ibu bilang kita masih bisa bermain dengan kecepatan angin
tapi tidak dengan gerakan sang waktu. Tak terasa, aku sudah melewatkan hari-hari
mengejar impianku dengan segala keputus asaan. Ingin rasanya terus bangkit
bersama yang lain melawan ketidak berdayaan ini. Namun apa yang aku miliki? Tak
ada kurasa.
Kemabalinya
kedua orangtuaku ke kampung halaman sedikit membuat aku senang dan bersemangat.
Yah, setidaknya walau harus merasa kekurangan, aku masih bisa berkumpul
bersama-sama mereka. Banyak hal yang ingin aku lakukan bersama mereka dikampung
halaman ini. Setidaknya nanti akan ada Ayah yang mengambil ijazahku ketika aku
lulus nanti.
Kuberanikan
menghadap kedua orangtuaku untuk lagi-lagi mencoba mengutarakan impianku
bersekolah nanti. Awalnya aku khawatir rencana ini akan mengundang kesedihan
dalam diri mereka. Namun aku lakukan juga kahirnya, agar aku mendapatkan restu
belajar dari kedua orang tuaku. Harapku, ini dapat menambah semangat dalam
hidupku. Pelan-pelan ku utarakan semuanya, hingga mencapai tujuan akhirnya
yaitu aku ingin berkuliah. Tak kusangka ternyata reaksi ibuku sangat baik,
beliau menyambut hangat impian ini. Impian yang aku harap bisa merubah segala
hal dalam hidup keluarga kita.
“Nak,
jika keinginan kuliah mu sangat besar, Ibu akan selalu berdoa untukmu. Untuk
masalah biaya, Ibu akan perjuangkan Nak. Kamu
jangan khawatir ya, sebisa mungkin Ibu dan Bapak akan perjuangkan kamu untuk
bisa kuliah”. Sambut salam hangat ibuku.
Ingin rasanya aku menangis
kala itu juga namun aku tahan dan mulai menggoretkan senyum lagi, untuk membangkitkan
semangat belajar dalam diri ini. Aku merasa telah banyak membuat
orang tuaku kesusaha memikirkan
aku dari sana. Di saat adikku juga
perlu biaya untuk sekolah aku malah
merengek meminta izin untuk bisa berkuliah.
Gaji Bapak Ibuku kemarin bukanlah
seberapa jika dibandingkan dengan gaji orang
tua anak-anak lain. Jangankan
untuk investasi masa depan atau
manabung untuk tercukupinya makan sebulan penuh kami sekeluarga saja itu sudah
lebih dari cukup. Apalagi kini mereka telah di PHK oleh perusahaan tempat
mereka mengabdi kemarin. Sudahlah, aku rasa aku memang harus berusaha lebih
dari orang lain lagi. Aku harusnya sadar kalau aku berbeda aku tak lagi seperti
dulu atau seperti teman-temanku saat ini. Aku harus mengusahakan segalanya
untuk mendapatkan yag terbaik. Akhirnya semangat kuliahku bertambah seiring
dengan berjalannya waktu karena restu dari ibu kemarin.
Sebenarnya,
tujuanku untuk melanjutkan
kuliah bukanlah tidak beralasan. Banyak
sekali faktor yang membuatku berani untuk terus memperjuangkan hak ku
menjadi seorang mahasiswa. Aku dengan
membawa nama keluargaku dari dulu selalu berusaha untuk
menjadi yang terbaik di sekolahku.
Aku selalu mendapatkan peringkat pertama di kelas
sejak SMP, walau terkadang aku hanya
bisa masuk kedalam tiga besar terbaik dikelas.
Prestasi akademikku ini selalu membuat bangga orang tuaku sehingga membuat mereka
berjuang untuk bisa membuat aku kuliah bagaimanapun caranya. Aku juga sejak SD
sering ditunjuk oleh guru untuk mengikuti lomba mewakili sekolah, meskipun aku belum
pernah menjuarai semua olimpiade yang aku ikuti, tapi aku bangga.
Wali kelasku datang menemuiku di
sekolah. Dia menanyakan dan memeberitahukan beberapa hal kepadaku. Pembicaraan
itu sangat singkat namun menimbulkan bekas yang teramat bagi diri ini.
Pembicaraan kami dimulai dengan pertanyaan dari Beliau tentang kesungguhan
niatku untuk berkuliah.
“Iya bu. Kuliah itu adalah sebuah
keinginan saya, saya ingin menjadi seorang mahasiswa.” Jawabku, sambil
menunjukan tekad yang luar biasa kuatnya. Namun tekad yang telah kusulam sekuat
baja tersebut harus memuai begitu saja dengan pernyataan yang terlontar jujur
dari mulut Beliau.
“Kemarin
Ibu sudah banyak berbincang-bincang dengan Ayah Erina, beliau menangis di depan
Ibu. Ayah Erina bilanh kalau Erina sangat
ingin sekali kuliah, tetapi beliau belum bisa menyanggupinya. Beliau belum tau
apakah ada biaya untuk mewujudkan keinginan Erina karena Beliau tidak memiliki cukup uang untuk
membiayai Erina kuliah kelak.” Belum
sempat beliau menyelesaikan perkataanya, aku pun menjawab dengan sedikit
menahan tangis.
“Saya paham bu, ini sangat berat
bagi keluarga saya. Tapi mimpi ini saya juga, untuk orang tua saya bu. Untuk
memebanggakan mereka, kerana saya tahu saya tidak bisa menjadi apa-apa dengan
hanya bermodalkan ijazah SMA.”
Wali kelasku tak dapat berkata
banyak, beliau hanya memelukku dan memeberi aku beberapa saran agar aku terus
memperjuangankan impian ini. Aku harus berusaha sekuat tenagaku, guruku juga
memperingatkanku agar aku terus mencari informasi seputaran beasiswa yang pasti
ada untuk menunjang pendidikanku di Universitas.
Sampai pada akhirnya aku harus
mengerutkan tekad yang lebih kuat lagi, ku rasa cita-cita ini sudah berada
berdiri didepanku persis. Aku menemukan satu beasiswa yang aku rasa dapat
menanggung seluruh biaya pendidikanku hingga lulus nanti. Bukan satu melainkan
banyak sekali beasiswa yang tersebar merata nantinya. Batin ini serasa diisi
oleh air yang jenih yang mampu menjernihkan tekad bulat ini. Aku pun kembali
bersemangat untuk terus menggapai cita-cita ini.
***
Aku hanya manusia biasa yang dapat berusaha untuk
dapat merubah takdir yang ada. Lagi-lagi keluarga kami mendapat cobaan yang
menguras segala emosi dan pikiran ini. Ya, aku sudah menyerahkan semuanya
kepada yang diatas dan aku tahu, kalau aku harus menerima segalanya yang Tuhan
berikan kepada kami dengan ikhlas dan lapang dada. Walaupun aku rasa aku sudah
lelah dengan semua ini, aku merasa segala impianku tidak terwujud karena
halangan yang tidak pernah terus berhenti singgah dihadapan kami. Belum selesai
masalah PHK kedua orang tuaku, kini Ayah harus jatuh sakit. Sakit yang
mengharuskan beliau di rawat di salah satu rumah sakit. Beriau mengalami penyakit
TBC (Tuberculosis), sudah sampai tingkat akut ternyata. Oh Tuhan,
ditengah semnagat menggebu-gebu ini ternyata aku harus mengalami terjalanya
lembah dulu sebelum aku sampai ke bukit yang tinggi nanti. Aku sudah tak dapat
berbuat banyak dengan ini semua. Sebelumnya kami sekeluarga tidak pernah
mengetahui hal ini. Ayah menyembunyikan semuanya dari kami, dia hanya bertindak biasa-biasa
saja seolah tidak ada hal buruk yang terjadi pada dirinya. Ternyata Ayah selama
ini tidak pernah memikirkan keadaan tentang dirinya karena dia mendahulukan
kepentingan keluarga.
Kini, ayah harus keluar-masuk rumah
sakit untuk menjalani perawatan intensif dari dokter. Keadaannya semakin hari
semakin buruk, aku pikir aku sudah mati rasa dengan segala impianku kala itu
karena melihat kondisi orang terdekatku yang harus terbaring lemah menahan
sakitnya. Tak hanya sampai situ, ternyata ayah di vonis menderita penyakit Diabetes Mellitus
(penyakit gula), yang
mengharuskan beliau disuntik insulin setiap harinya. Saat itu, entah sudah berapa besar biaya yang
telah kami keluarkan untuk pengobatan bapak. Semua biaya yang digunakan berasal
dari uang pesangon perusahaan yang
didapat bapak dan ibu sebelum mereka di-PHK.
Ternyata keadaan Bapak semakin memburuk dengan seringnya Beliau
berkeringat dan kemudian tidak
sadarkan diri secara
tiba-tiba. Hal
tersebut sangat membuat keluargaku (termasuk aku) sangat khawatir. Padahal aku telah merencanakan
hal-hal indah yang akan aku lalui bersama dengan ayahku setelah sekian lama
kami tak jumpa. Aku takut aku dan
Ayah tidak bisa mewujudkan semua rencana-rencana
itu.
Sepulang
sekolah aku sering menyempatkan diri untuk pergi menjenguk ayah di rumah sakit.
Aku merasa, ayah membutuhkan aku disampingnya. Aku sebagai anak pertamalah yang
memang seharusnya mengabdi padanya di saat-saat sekarang. Pada suatu sore, saat
aku menemani Ayah di rumah sakit. Ayah menceritakan masa lalu yang kita lalui
bersama. Masa-masa kecilku yang manis yang dilewati bersama Beliau hingga
menceritakan cita-citaku nantinya. Aku memang sangat merasa sedih kala aku
harus mengingat kejadian-kejadian yang aku lalui bersamanya, namun disisi hal
aku sangat senang dengan semua ini tak pernah rasanya aku sedekat ini dengan
Ayah. Tak pernah ayah bercerita panjang lebar tentang satu hal. Lalu
beliau berkata sebuah kalimat yang akan selalu aku kenang.
“Rin,
Bapak bangga sama kamu. Bapak harap kamu bisa menjadi contoh bagi adek-adekmu
kelak. Bapak sangat bersyukur memiliki seorang putri seperti kamu. Apapun yang
ada di hadapan kamu, jalani saja. Carilah jalan termudah, Bapak yakin kamu bisa
menggapai cita-citamu itu. Percayalah Bapak dan Ibu selalu berdoa untukmu,
sayang.”
Rasanya
aku sudah tidak kuat menahan arus air yang akan keluar dari pelupuk mata ini,
aku tak kuat mendengar ucapan Ayah itu. Aku tersenyum seolah-olah aku kuat, aku
tak ingin Ayah melihat diri ini sangat lemah. Ayah memintaku untuk menyiapkan
air yang akan Beliau gunakan untuk membasuh dirinya. Aku membantunya juga
melangkah menuju kamar mandi. Sungguh rasanya perih
hati ini melihat ayahku tertatih tatih berjalan ke ranjang tempat tidurnya
dengan meringis kesakitan. Sungguh
menyayatkan hati bahwa aku tak pernah memikirkan bagaimana aku bisa membalas
jasa-jasa mereka. Terlepas dari keinginanku untuk melanjutkan kuliah. Aku harus
tetap memperjuangkan hal itu agar aku bisa membanggakan mereka dan mendapatkan
pekerjaan yang lebih layak kelak.
Ketika
ayah harus bertahan dengan sakitnyanya yang semakin hari semakin menggrogoti
kesehatan Ayah, lagi-lagi keluargaku mengalami musibah yang luar biasa membuat
kami harus semakin kuat menjalani hari ini. Ibu mengalami kecelakan yang
membuat pergelangan tangan ibu patah. Kami tak memberitahukan hal ini pada
Ayah, takut-takut penyakitnya semakin memburuk.
Aku
bertanya kepada Allah tentang mengapa
semua ini harus terjadi padaku, sehingga
aku berpikir bahwa mungkin Kau sedang berusaha
untuk memperingatkanku agar aku tidak usah melanjutkan mimpi-mimpiku lagi. Atau
pikirku semua ini adalah maksud tersembunyi
dari-Mu. Entahlah apapun
itu aku yakin, janjiMu adalah
pasti ya Allah. Batinku lirih seiring bergejolaknya konflik di hati ini.
Aku terus setia merawat ayah. Walaupun ibu tidak
pernah pergi menjenguk karena ibu takut kalau ayah mengetahui hal ini. Aku
tekadang menunjukan nilai-nilai sekolah yang aku peroleh. Aku ingin membuat
ayah bangga dengan diriku, aku ingin ayah senantiasa tersenyum melihat
keberhasilanku.
“Pak,
Erin janji besok ujian nasional lebih baik. Pasti besok ujian nasional Erin
bisa dapet 9 semua pak, tapi Bapak janji ya. Besok bapak yang ngambil
ijazah Erin, bapak cepet sembuh ya!” Kataku lemas pada ayah yang menjawab janjiku dengan senyuman dan anggukan
kecilnya. Ayah juga tersenyum kala itu menahan sakitnya
didepanku.
***
Hari-hari ayah lalui dirumah sakit tanpa kehadiran
ibu. Akhirnya ibu harus memberanikan diri menemui ayah dirumah sakit, alhasil
ayah yang telah jenuh dengan segala perwatan meminta pulang dan ingin dirinya
dirawat dirumah saja. Keadaan ayah tidak semakin baik, ayah sering sekali
tiba-tiba pingsan saat perawatan. Tak banyak yang dilakukan dokter kala itu
untuk menyembuhkan ayah, sampai pada akhirnya kami semua menyetujui permintaan
ayah dan memebawa ayah pulang kerumah.
Aku merasa bersalah, yang kala itu tidak bersikap
manis dirumah dengan keadaa ayah yang seprti itu. Aku sering berkelahi dengan
adikku meributkan hal yang seharusnya tidak diributkan. Aku
sangat menyesal, tapi ayahku tak berkata apapun. Ayah hanya tersenyum pada kami. Sungguh,
diamnya membuatku merasa bersalah sangat dalam. Keadaan ayahku tidak juga
membaik di rumah, beliau sudah tidak bisa berjalan lagi sedangkan yang mengurus
beliau adalah nenekku. Ibuku
sibuk mengurusi adikku yang masih kecil. Ayah
yang tak dapat berbuat banyak selalu di gendong oleh adik nenekku untuk
berpindah tempat.
Suatu sore, tepatnya azan magrib. Aku membangunkan
ayah yang tertidur pulas, aku memberitahu bahwa ada saudara jauh yang datang ke
rumah. Aku mengajak beliau makan untuk mengisi kekosongan perutnya karena
sedari pagi ayah tidak mau makan. Pelan-pelan aku menyuapi ayah dengan makanan
yang saudaraku bawa, tapi sayang tak ada makanan yang bisa masuk kedalam
perutnya. Ayah selalu memuntahkan kembali makanan yang telah ia kunyah.
“Rin, udah yah ayah kenyang gak mau makan. Buat kamu
dan adek-adekmu saja ya.” Seru ayah yang aku rasa sedang berbohong tentang isi
perutnya.
“Bapak
harus makan, katanya bapak pengen sembuh. Nanti kan bapak yang mau ambil ijazah
Erin kan? Bapak inget janji itu kan ?” Bisikku dengan nada yang sangat lembut
padanya. Namun hanya senyuman yang beliau berikan sebagai jawban.
Lemas rasanya jiwa ini, setelah tahu
bahwa perbincangan dan senyuman ayah kemarin adalah yang terakhir yang aku
lihat. Ayah dinyatakan meninggal pagi harinya, Ya,
meninggal dunia, aku takkan pernah bisa melihat beliau lagi. Aku tahu aju takkan pernah bisa
tersenyum di hadapan ayah
lagi, dan aku takkan pernah bisa melihat beliau tersenyum. Aku sedih, karena
aku takkan pernah bisa membawa piala kebanggaanku di depan beliau lagi.
Mirisnya lagi ayah tak menepati janjinya untuk mengambil ijazah saat kelulusan
nanti.
***
Sejak kejadian itu aku tak bisa
berkonsentrasi belajar, padahal bulan depan aku harus menghadapi Ujian Nasional. Aku
depresi, aku menyatakan bahwa aku tak ingin sekolah lagi. Aku bahkan membuang
jauh-jauh impianku berkuliah.
Aku
menangis tersedu-sedu ketika aku ditelepon oleh tanteku yang berada di Papua.
“
Lho, kan Erin sendiri yang janji pada bulek
suatu saat Erin akan datang ke depan rumah bulek
sambil membunyikan klakson mobil, Erin inget janji itu kan ? Bulek pengen Erin jadi orang sukses.
Kamu emang gak bakal melihat Bapak tersenyum, tapi beliau akan senang dan
tersenyum jika melihat putrinya sukses. Beliau akan tersenyum di surga, Rin.
Kalau Erin sedih, terus gak mau sekolah apalagi gak mau memperjuangkan
cita-cita erin. Bapak akan menangis disana. Erin harus kuat, bulek tau ini berat, semua yang terjadi
pada Erin terlalu berat untuk dijalani, tapi bulek tau Allah ngasih ini ke Erin karena Allah yakin Erin bisa
menghadapinya, menghadapinya dengan senyuman.” Terdengar isak tangis di
seberang telepon. Aku hanya bisa menangis di telepon.
“
Bulek yakin Erin bisa, tunjukkan pada
semuanya kalau Erin bisa, Erin kuat dan Erin
patut dibanggakan!” Ucapnya lagi
yang membuat aku lirih.
Setelah
perbincangan yang cukup lama dengan bulek
ku di telepon, aku menutup telepon dan menghapus air
mataku. Aku bertekad untuk mewujudkan janji-janjiku kepada semuanya, terutama
kepada ayahku disana. Aku duduk di kursi belajarku dan mulai menggoreskan tinta
ilmu pengetahuan di ingatanku. Hari ujian makin dekat dan aku hanya bisa pasrah
terhadap apa yang telah aku pelajari selama ini dan berdoa agar diberi kemudahan
serta kelancaran ketika mengerjakannya.
Empat
hari ujian telah terlewati, tinggal menunggu hasil. Hari pengumuman juga
semakin dekat, aku sedih ayahku tak bisa datang menyaksikan aku diwisuda dari
SMA ku. Tapi ada om ku yang bersedia datang unutk menggantikan posisi ayahku
sebagai wali. Aku mendapatkan juara dan piala. Aku cukup senang, tapi tak ada
ayahku di sampingku. Yang aku pikirkan saat itu, apakah aku berhasil lolos di
SNMPTN?
Sampai
pada akhirnya Allah menjawab pertanyaanku, aku dinyatakan
lolos SNMPTN. Aku sangat senang seklai
dan aku yakin, ayahku pasti bangga denganku.
Aku tak akan mengecewakan beliau disini. Aku diterima di prodi Geofisika
Universitas Gadjah Mada, sebuah universitas yang sangat terkenal akan
prestasinya yang melanglang buana baik secara nasional maupun internasional.
Dan aku mendapatkan kesempatan besar untuk menjadi salah satu bagian dari
Universitas besar ini, universitas yang menjadi kebanggaan Indonesia ini. Tak ada lagi beban hidupku, tanggungan biaya kuliah
sudah menjadi jaminan Negara.
“Aku dibiayai oleh pemerintah, yang
berasal dari uang rakyat.
Berarti aku berhutang budi dengan rakyat yang akan telah membiayai kuliahku sampai lulus. Itu artinya
semakin besar juga tanggung jawabku,
bukan hanya kepa keluarga ku melainkan kepada rakyat Negara ini.”
Gumamanku itu yang membuatku semangat untuk segera bisa lulus, dan bekerja
serta mengabdi kepada rakyat yang telah membiayaiku dan membantu melanjutkan
kuliahku.
Banyak
hal yang telah Tuhan anugerahkan padaku, apapun itu
rintangan yang nanti aku
hadapi, sekeras apapun itu, seberat apapun itu, aku harus mengahadapinya. Takkan sekalipun aku mundur dan takkan
aku lihat rintangannya, tapi lihatlah pada tujuan yang
ingin aku raih. Tuhan mengujiku dengan memberikan banyak
cobaan berat untuk menunjukkan bahwa aku
adalah hamba yang kuat, aku adalah
hamba yang mulia. Aku percaya apa
pun usaha ku
untuk meraih tujuanmu pasti akan dihitung pahala oleh Allah. Dan aku yakin segala doa yang
selalu ku panjatkan selama ku sholat pasti akan dikabulkan oleh Allah swt.
Percayalah kepada-Nya, tak ada segala sesuatu yang sia-sia menurut-Nya.
"Ayah, ini untukmu ayah"
Erina Prastyani
Geofisika MIPA UGM 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar