Rabu, 29 Januari 2014

KUPU KUPU BERSAYAP SATU




Jika dunia bagaikan panggung sandiwara, mungkin Tuhan telah memberikan kepercayaan kepadaku untuk memerankan tokoh seorang manusia yang “tidak sempurna”. Aku berbeda dengan manusia lainnya. Ibarat kupu-kupu, sayapku patah satu. Tak bisa terbayangkan bagaimana ia bisa terbang. Tapi Tuhan punya alur cerita sendiri, bagaimana klimaks dan endingnya, hanya Ia yang tau. Ia menyediakan banyak pilihan peran dan alur yang bisa kita pilih, ingin tetap menyerah dengan sayapnya yang patah, atau berusaha menjahitnya meskipun mustahil dirasa. Tapi sandiwara ini bukanlah sandiwara biasa. Aku bahkan tidak tau skenario yang akan aku mainkan. Terkadang aku dihadapkan beberapa pilihan untuk menentukan alur.  Inilah sepenggal kisah hidupku, yang dipercaya Tuhan menjadi pemeran tokoh yang memiliki keterbatasan fisik.


Raga ini berisi ruh yang telah ditakdirkan menjadi sosok Hana, seorang anak yang sedikit berbeda dengan anak-anak lain. Salah satu sendi di tubuh ini tidak dapat berfungsi dengan baik, sendi lutut kaki kiri lebih tepatnya. Jika sedang berjalan aku terkesan menyeret kaki kiriku, “pincang” ya sering orang menyebutnya. Ketika sedang duduk, aku tidak bisa menekuk kaki kiriku. Ketika sedang beribadah, sujudku tak sesempurna manusia lain. Terkadang aku berharap, bisa bersujud dan duduk bersimpuh di dalam sholat dengan sempurna. Ketika lebaran tiba, meskipun terkesan sepele tetapi terkadang aku ingin seperti orang lain, duduk “sungkem” dan hikmat meminta maaf kepada orang tua.
Protes-protes kepada Tuhan mengenai keadaanku semakin kuat ketika aku dihadapkan dengan cemoohan orang dan pandangan sinis yang merasa aneh dengan cara berjalanku. Aku malu dengan keadaanku yang seperti ini. Pernah aku benar-benar menangis  karena keterbatasan yang kumiliki ini menghalangi segala sesuatu yang ingin aku lakukan. Aku ingin berkembang, setidaknya aku ingin dipandang “biasa” saja seperti anak-anak lainnya. Ya, “biasa” tidak lebih. Kadang muncul pertanyaan di dalam hatiku, apa aku bisa dengan kondisiku yang seperti ini. Apa aku mampu bertahan dan menjalani hidup seperti orang lain?
 Aku terlahir di tengah-tengah sebuah keluarga dengan kondisi ekonomi yang pas-pasan. Ibuku seorang penjual mie ayam dan ayahku pembuat batu bata. Jangan dibayangkan sebuah warung mie ayam besar yang setiap harinya ramai pengunjung seperti di kota-kota. Hanya sebuah warung kecil di bagian depan rumah kami. Satu gerobak mie ayam tua, 2 meja, dan kursi sederhana yang ada di warung itu. Meskipun begitu, aku tetap bersyukur. Dari warung mie ayam itu, kami bisa bertahan hidup sampai sekarang.
Kedua orang tuaku adalah motivasi terbesarku dahulu, saat ini, dan nanti. Dari mereka aku banyak belajar tentang keikhlasan, ketabahan, dan ketegaran menjalani kehidupan. Mereka adalah alasan terbesarku untuk tetap maju, menatap masa depan, dan melepaskan diri dari belenggu “kekurangan” yang ada di diriku. Ketidak mungkinan bisa saja berubah menjadi sebuah kemungkinan. Aku percaya itu.

Pembelajaran tentang keikhlasan, ketabahan, dan ketegaran dalam menjalani hidup aku dapat dari kedua orang tuaku. Bagaimana tidak? Menjadi orang tua yang memiliki 2 orang anak dengan kondisi yang berbeda dengan anak-anak lain bukanlah hal yang mudah. Aku dengan kondisiku yang seperti ini, dan adikku yang pernah mengalami kecelakaan ketika kecil sehingga membuatnya juga berbeda dengan anak-anak normal lain.
Usia 1-3 tahun, aku tumbuh seperti anak-anak pada umumnya. Namun, tidak seperti bayi biasanya, aku tidak melewati fase merangkak. Pada awalnya, tidak ada rasa curiga dari kedua orang tuaku. Ketika berusia empat tahun, layaknya anak-anak aku bermain dengan teman-teman sebayaku. Waktu itu aku sedang berada di rumah nenek, aku bermain dengan salah satu temanku. Berlari, berkejar-kejaran sampai akhirnya aku terjatuh di jalan menanjak depan rumah nenek. Semenjak saat itu, kaki kiriku tidak bisa ditekuk. Aneh memang, hanya sebuah benturan kecil bisa membuat kaki kiriku tidak bisa ditekuk. Namun, Ibu berpendapat bahwa kelainan yang ada di kakiku merupakan bawaan sejak lahir. Beliau masih ingat ketika mengandung aku, dokter yang memeriksa beliau mengatakan bahwa akan ada kelainan pada diriku. Namun waktu itu beliau memperkirakan tangan kananku yang akan mengalami kelainan. Wallaahua’lam..

Berbagai macam pengobatan sudah diupayakan agar kaki kiriku bisa normal kembali. Mulai dari pengobatan tradisional, sampai modern. Ketika menjalani terapi pengobatan secara tradisional, aku diharuskan meminum bergelas-gelas jamu tradisional yang pahitnya luar biasa. Di samping pengobatan tradisional, aku juga di bawa  ke rumah sakit. Berbagai macam rumah sakit sudah kami datangi, mulai rumah sakit daerah, sampai rumah sakit pusat di provinsi. Saat aku duduk di kelas 5 Sekolah Dasar, aku di bawa ke rumah sakit ternama di Jogja. Pada saat pemeriksaan, beberapa dokter sangat heran karena kaki kiriku ternyata tidak memiliki tempurung lutut. Setelah dilakukan pemeriksaan, seminggu kemudian operasi akan dilakukan.
Berbagai persiapan dilakukan, Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) sudah dipersiapkan untuk meringankan biaya rumah sakit. Hari di mana aku akan operasi tiba, aku dan keluargaku berangkat menuju rumah sakit tersebut menggunakan mobil saudara. Sesampainya di rumah sakit, saudaraku mencari dokter yang sudah menjanjikan akan melakukan operasi pada diriku. Namun, di hari itu, ketika semua persiapan sudah dilakukan, ternyata dokter yang bersangkutan pergi ke luar kota menghadiri sebuah acara penting. Akhirnya, kami memutuskan pulang dan kakiku gagal dioperasi.

Aku menerima semua ini dengan lapang dada, kadang terbesit di dalam hatiku mungkin aku memang sudah ditakdirkan untuk menjadi seperti ini sepanjang  hidupku. Entah ungkapan itu merupakan ungkapan keputus asaan karena sudah banyak pengobatan yang aku lakukan atau ungkapan pasrah kepada Tuhan.
Satu yang ingin aku tunjukkan kepada orang-orang yang selama ini sudah banyak berkorban untuk pengobatan kakiku. Nenekku yang sudah membawaku ke berbagai pengobatan tradisional seperti tukang urut-pijat dari pelosok desa hingga yang ada di kota. Ayah, ibu dan saudaraku yang sudah mengupayakan operasi kakiku. Aku tak ingin membuat mereka sedih atau kecewa memiliki anak sepertiku. Aku ingin membuktikan kepada mereka bahwa aku memang tidak sempurna, tapi paling tidak aku bisa seperti anak-anak lainnya.
Aku selalu ingat dengan kata-kata Ibuku “Koe ora usah minder,Han. Neng ngisore awakdewe ijik okeh. Koe kudu iso bersyukur” (read: Kamu tidak usah minder Han, di bawah kita masih banyak. Kamu harus bisa bersyukur). Kata-kata itu yang selalu aku ingat, terutama jika temen-teman baruku bertanya tentang ketidak sempurnaan ini
“Kakimu kenapa kok pincang?”. Aku tau mereka tidak bermaksud menghina, tapi kata “pincang” itu sering kali mengiris hati. Aku biasanya hanya tersenyum dan berkata “tidak papa”.
Meskipun aku punya kekurangan, tapi aku selalu berusaha untuk menjalani hidup layaknya manusia lain. Kedua orang tuaku adalah alasan terbesarku bertahan dan tegar saat ini. Aku banyak belajar dari mereka. Terkadang aku merasa malu. Bukan malu karena kondisiku yang seperti ini. Tapi malu kepada kedua orang tuaku, bagaiman tidak? Seharusnya aku berfikir, bagaimana perasaan orang tua yang memiliki anak yang tidak seperti anak-anak normal lainnya? Bagaimana ketika mereka ditanya, kenapa anakmu, kenapa kakinya pincang dan kenapa bisa seperti itu? Aku harus selalu ingat, aku tidak boleh egois, jika aku menyesali kondisiku saat ini dan tidak berbuat apa-apa, lalu apa yang bisa aku berikan kepada kedua orang tuaku? Aku harus menatap ke atas, aku harus percaya setiap orang pasti memiliki jalan kesuksesan/ keberhasilannya masing-masing.
Ketika adikku berusia sekitar 3 tahun, adikku mengalami peristiwa tragis. Waktu itu, kedua orang tuaku sedang membakar batu bata. Aku dan adikku yang masih kecil ikut ke tobong (tempat pembakaran batu bata). Ketika bapak dan ibu sedang sibuk dalam proses pembakaran, adikku yang baru saja bangun tidur tiba-tiba berjalan cepat sambil mencari ibuku. Tak disangka, adikku jatuh di perapian yang sedang digunakan untuk membakar batu bata. Luka bakarnya hampir 75%. Bahkan, 2 jari tangan kirinya menekuk dan tertempel tidak bisa diluruskan. Kaki dan tubuhnya melepuh. Segera waktu itu bapak dan ibuku membawanya ke rumah sakit. Sampai sekarang, luka bakar itu masih ada. Jari kelingking dan ibu jari tangan kiri adikku pernah dioperasi. Namun, pada saat proses pemulihan, ternyata tulang jari kelingking adikku patah, dan akhirnya diputuskan untuk dipotong dua ruas.

Aku tak tahu bagaimana aku bisa menggambarkan kebesaran dan ketulusan hati kedua orang tuaku ketika dua buah hatinya tidak seperti anak-anak pada umumnya. Bagaimana mereka menanggapi setiap pertanyaan yang datang dari orang-orang mengenai kondisi aku dan adikku. Dari mereka aku mulai belajar, hidup bukan untuk diratapi, tapi dijalani, meskipun dalam kondisi tersulit sekalipun.
Masa sekolah, masa menuntut ilmu, masa di mana manusia bisa bersosialisasi dengan manusia di sekitarnya. Begitu juga aku. Masa-masa awal di sekolah, merupakan masa penyesuaian dan pengenalan bagiku. Pada awalnya sulit memang ketika harus menyesuaikan diri dengan cakupan yang lebih luas. Tatapan-tatapan yang disusul dengan pertanyaan-pertanyaan teman-teman baru tentang kaki yang sebenarnya membuat diriku ini cukup merasa risih. Tetapi lama kelamaan aku mulai terbiasa. Hanya saja ada pula segelintir teman yang pernah menertawakanku ketika aku berjalan, berlari, bahkan jongkok. Sewaktu SMP, ketika sedang pelajaran olah raga lompat jauh, aku dilarang mengikuti oleh guru olah ragaku. Aku hanya disuruh membantu membersihkan bak pasir lompat jauh dan meratakan pasirnya.
Sempat ada seorang temanku yang berkata “Wah enak ya cuman kayak gitu doang. Enggak capek, aku juga mau kalik.”
 Aku tersinggung, dongkol rasanya mendengar kata-kata itu. Akhirnya aku menanggapi kata-kata temanku itu “Kalau aku disuruh milih, aku juga milih kayak kamu, bebas olah raga apa aja. Aku juga pengen punya kaki normal kayak kamu”.
Semenjak saat itu, aku meminta ijin kepada guru olah ragaku untuk ikut olah raga lompat jauh. Meskipun kakiku tidak bisa mendarat dengan sempurna (posisi menekuk/ jongkok), akhirnya aku tetap diperbolehkan untuk ikut lompat jauh dengan catatan guruku sudah mengingatkan agar aku tidak mengikuti olah raga tersebut.
Aku mulai berfikir, jika aku tidak bisa unggul di bidang yang satu itu (olah raga), aku masih punya kesempatan untuk unggul di bidang lain. Aku belajar dengan sungguh-sungguh. Alhamdulillah, peringkat pertama selalu kuraih saat di SMP. Begitu pula saat kelulusan, ternyata aku menjadi lulusan terbaik dengan Nilai Hasil Ujian Nasional tertinggi. Saat menjelang kelulusan, aku ditawari untuk bersekolah di SMA Negeri 2 Wates (SMA RSBI pertama di Kulon Progo). Tidak pernah terbayang olehku bisa bersekolah di sana. Namun, dengan bantuan salah satu guru SMP-ku yang waktu itu merupakan guru Bahasa Jawa, akhirnya aku bisa bersekolah di SMA N 2 Wates. Awalnya aku diberi tahu oleh beliau, jika ada seorang donatur yang bersedia menjadi donatur untuk biaya sekolahku di sana. Serangkaian tes sudah kulalui dan ternyata aku mendapat peringkat ke-dua saat PPDB (Penerimaan Pesrta Didik Baru). Hal itu sangat kusyukuri.  Ketika aku sudah masuk menjadi siswa di sana, aku baru tau jika donatur tersebut adalah keluarga guru Bahasa Jawa SMP ku itu. Lebih tercengangnya, ternyata suami guruku itu adalah kepala SMA baruku itu. Subhannallah, aku jadi semakin termotivasi dan semakin semangat belajar.
Bersekolah di sekolah dengan status RSBI merupakan tantangan untukku. Selain bertemu dengan teman-teman yang berasal dari SMP favorit, teman-temanku juga kebanyakan berasal dari keluarga menegah ke atas. Tapi sekali lagi, aku tidak ingin mengecewakan kedua orang tuaku, dan donatur yang sudah membiayai sekolahku. Aku terus berusaha belajar dan berdoa. Awalnya teman-teman menyangka kakiku sakit karena kecelakaan, tapi lama-lama aku mulai sedikit bercerita tentang awal mula kakiku bisa seperti ini. Mereka menerimaku, bahkan terasa segan jika bertemu atau berbicara denganku. Aku sebenarnya tidak suka diperlakukan seperti itu, aku ingin sikap mereka kepadaku seperti sikap mereka dengan teman-teman yang lain. Aku biasanya yang mulai mendekati mereka dan bercanda seperti biasa agar mereka tidak canggung.
Di SMA ini, Alhamdulillah rupanya  Allah menjawab doa-doaku, aku diberi karunia dengan mendapat rangking pertama di kelas dari semester 1 hinga 6. Semester 1-5 aku juga mendapat rangking 1 paralel IPA. Aku sangat bersyukur, setidaknya aku bisa sedikit membalas budi kebaikan orang-orang yang menyayangiku. Meskipun itu kecil sekali.
Saat duduk di kelas XII, kegalauan mengenai kelanjutan study juga melandaku seperti kegalauan yang dirasakan siswa siswai kelas XII pada umumnya. Kuliah, ya, kuliah. Duduk di bangku kuliah merupakan sebuah impian besar bagiku. Untuk seorang anak penjual mie ayam dan pembuat batu bata dengan berbagai keterbatasan yang ada, bukanlah sebuah hal yang mudah untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Masalah biaya merupakan faktor utama. Mustahil sepertinya untuk melanjutkan ke perguruan tinggi dengan mendapati kenyataan bahwa pendapatan orang tuaku yang terbatas, belum lagi ditambah dengan biaya sekolah adikku yang kini sudah duduk di bangku Sekolah Menengah Atas kelas X. Aku bahkan sempat berpikir untuk tidak melanjutkan kuliah dulu dan bekerja di pabrik daerahku. Namun aku juga berpikir, iya jika diterima, jika tidak?
Ternyata Allah, Sang sutradara sekaligus penulis Skenario  kehidupan ini, memberi jalan cerita sendiri. Guru Bimbingan Konseling kami memberi informasi mengenai beasiswa BIDIKMISI. Beasiswa yang diperuntukkan bagi anak-anak yang tidak mampu yang ingin melanjutkan pendidikannya di perguruan tinggi negeri. Seperti mendapat angin segar, aku segera memberitahu kedua orang tuaku. Syarat-syarat mulai dicari. Aku berniat mendaftar melalui jalur SNMPTN. Waktu itu sempat ada “kegalauan” tentang universitas negeri yang akan aku pilih. Sempat minta pendapat orang tua, ada perdebatan juga tetapi akhirnya mereka menyerahkan keputusan kepadaku. Akhirnya aku memilih FISIKA UGM di pilihan pertamaku, disusul matematika. Agak aneh memang tetapi aku memilih jurusan tersebut dengan berbagai pertimbangan. Pada awanya aku tertarik pada Fakultas Teknik, tetapi setelah membaca persyaratan yang tertera, akumengurungkan niatku memngingat aku memiliki keterbatasan fisik. Dengan mengucapkan Bismillahirrohmanirrohiim aku mantapkan pilihanku di FISIKA UGM. 

Masa menunggu adalah masa-masa galau. Menunggu hasil ujian nasional dan menunggu hasil SNMPTN. Pada saat hasil Ujian Nasional diumumkan, rangking paralelku turun menjadi rangking 4. Sempat kecewa, menangis, tetapi ibuku memberi nasihat kepadaku agar tidak berlarut-larut dalam kekecewaan. Aku harus memikirkan kelanjutan pendidikanku. Lebih tepatnya, hasil SNMPTNku. Tidak ada salahnya untuk sedikit melupakan hasil UN dan lebih berkonsentrasi berdoa untuk hasil SNMPTN-ku. Kedua orang tuaku, nenek, budhe, bulek, paklek,  adik, dan orang-orang yang sering menanyakan aku mau lanjut kuliah di mana, tak henti-hentinya aku mintai doa. Bahkan  jauh-jauh sebelum itu, ketika musim haji tahun 2012, aku sempat mengirim pesan melalui sms (short message servis) kepada warga desaku yang sedang menunaikan ibadah haji di Mekah untuk meminta didoakan agar kelak aku mendapat hasil UN yang baik dan dapat diterima di universitas yang terbaik menurut Allah. 

Tepat hari Senin, 27 Mei 2013, sekitar pukul 17.00 aku mendapat pesan singkat dari temanku. Dia menanyakan apa aku diterima atau tidak. Waktu itu, aku baru saja pulang dari masjid karena hari Senin adalah jadwal untuk mengajar di TPA.
Aku segera membalasnya, “belum, kamu udah ya? Gimana hasilnya?”.
Ternyata dia belum lolos. Aku memutuskan untuk pergi ke warnet yang berjarak sekitar 3 km dari rumahku untuk melihat hasil SNMPTN. Namun karena sudah sore dan hampir maghrib, ibu menyuruhku untuk menumpang memakai internet di rumah tetangga yang kebetulan memiliki sumber internet. Belum selesai aku melangkahkan kaki keluar rumah, ternyata ada satu pesan singkat yang masuk kedalam handphoneku. Ternyata dari temanku Noviana, dia memberi selamat kepadaku karena aku lolos SNMPTN Fisika UGM. Terharu, bersyukur sekali rasanya, aku sujud syukur. Tak henti-hentinya kalimat tahmid kupanjatkan kepada Allah. Aku baru ingat, waktu melakukan scanning kartu SNMPTN untuk persyaratan, aku sempat menitip file di flashdisk Noviana, jadi dia bisa membuka pengumuman SNMPTN milikku. Tak lupa aku juga mengucapkan terima kasih kepadanya.  Aku ditemani ibuku tetap pergi ke rumah tetanggaku untuk melihat pengumuman tersebut, intinya untuk lebih memantapkan. Alhamdulillah, sungguh karunia yang Allah berikan begitu indah. Ini adalah salah satu jalan yang sudah Allah berikan kepadaku.

Diterimanya aku di UGM, tidak lantas membuatku senang, mengapa? Ada satu masalah yang benar-benar menggangguku. Isu-isu mengenai mahalnya biaya kuliah di sana mulai menyeruak di pikiranku. Seandainya aku benar-benar memperoleh beasiswa BIDIKMISI, mungkin masalah biaya bukanlah sebuah persoalan serius. Namun, jika aku tidak mendapatkannya, bagaiman aku bisa kuliah di sana? Bapakku mulai mencari-cari pohon yang sekiranya bisa ditebang di lahan kecil milik orangt tuaku. Namun, aku tetap berharap agar aku benar-benar bisa mendapat beasiswa BIDIKMISI. Setidaknya jika aku benar-benar mendapatkan beasiswa tersebut, pohon yang ada bisa digunakan sebagai tabungan biaya kuliah adikku atau S2 ku kelak. Aamiin.
Semenjak pengumuman SNMPTN tersebut, kabar mengenai aku diterima di UGM mulai menyebar di desaku. Maklum, jarang sekali ada anak desa kami yang melanjutkan kuliah di sana. Terutama karena isu jika kuliah di UGM biayanya selangit.
Jika bertemu dengan orang dijalan, yang sering mereka  tanyakan terhadapku adalah “Di terima di UGM ya, Mbak? Ambil jurusan apa? Uang pangkalnya berapa? Uang sumbangannya? Per semester berapa?”.
Aku pun hanya bisa menjawab yang bisa aku jawab. “Saya baru melamar beasiswa Pak/Bu. Mohon doanya juga, jika saya bisa mendapat beasiswa tersebut, Insya Allah bisa gratis. Aamiin”.
Ada satu peristiwa yang masih membekas waktu itu. Aku disuruh ibuku untuk membeli sayur di warung tetangga yang agak dekat dengan rumahku. Waktu itu, ibu penjual sayur itu bertanya tentang diterimanya aku di Universitas Gadjah Mada dan dia mengatakan bahwa dia ikut senang dan bangga dengan pretasi yang aku dapat saat ini. Beliau menepuk pundaku sambil meneteskan air matanya .
“Seandainya simbahmu masih ada, pasti beliau seneng banget, Mbak!”. Aku jadi ikut meneteskan air mata. Simbahku (lebih tepatnya Nenek), adalah seorang tukang urut di desaku, jadi warga desa sudah mengenal baik tentang nenekku. 

Aku juga tak lupa berterima kasih kedua orang tuaku, adik, keluarga, kepada donatur yang selama ini sudah banyak sekali membantuku di SMA, keluarga Bapak Drs.H.Mudijono dan  Ibu Dra. Hj. Suharti , guru SMP yang selalu memotivasiku yaitu Ibu Erni Hastuti, Wali kelas XII IPA 1 Bapak Drs.Agus Burhan M.M, Ibu Esti, guru-guruku yang lain yang tidak dapat kusebutkan satu persatu, teman-temanku, sahabatku, Erlinda, Noviana, Farida, Ela, Dika, dan semua yang banyak mengajariku untuk selalu bersyukur di atas semua kekurangan yang ada di diriku.
Senin, 22 Juli 2013 di depan sebuah toko tempat foto copy, rental, dll. Setelah menjemput adikku sekolah, aku mampir di sebuah tempat fotokopi untuk memfoto kopi sesuatu. Sekitar pukul 13.30 WIB di saat panas sinar matahari begitu menyengat. Ada seorang anak kecil berusia sekitar lima tahun dengan sebuah gitar kecil mendekat ke arah tempat foto kopi itu. Tak ada lagu yang dimainkan olehnya. Jari-jari mungilnya hanya memetik sinar gitar kecil yang sudah tua itu. Di belakangnya, tepatnya di pinggir jalan raya, ada seorang ibu. Ibu itu menggunakan sebuah kursi roda, maaf, kakinya agak berbeda. Tidak sempurna. Aku membayangkan dalam kondisi siang yang sangat terik seperti ini mereka mencari nafkah dengan mengamen. Kondisi ibunya yang seperti itu sebenarnya tidak layak untuk mencari nafkah dengan cara seperti itu menurutku.

Aku iba, aku mengambil uang kembalian fotokopi tadi, uang receh Rp 5000 an, lalu kuserahkan kepada anak kecil itu. Anak kecil itu menerimanya, tak ada satu kata pun terucap dari bibirnya. Dia kemudian berlari menuju ibunya yang menunggu di pinggir jalan raya. Ia menyerahkan uang itu. Ibunya menengok ke arahku dan dengan pandangan sayu beliau berkata ‘Terima kasih’. Aku tersenyum, walau sebenarnya hatiku getir. Di tengah ruwetnya masalah korupsi para petinggi negeri, nasib rakyat kecil, penyandang cacat semakin terbengkalai. Seharusnya orang-orang yang memiliki keterbatasan fisik harus diberi perhatian khusus, minimal diberi keterampilan. Dengan memiliki keterampilan mereka bissa berkarya lalu bisa bernilai ekonomi dan menjadi sumber pendapatan bagi mereka. Bukan seperti ini, mengamen di jalan raya di toko-toko. Aku semakin memantapkan keinginanku. Kelak, jika aku sudah menjadi “orang”, aku ingin mendirikan sejenis pendidikan gratis untuk anak-anak kurang mampu dan balai latihan kerja sebagai pembekalan dan pengembangan keterampilan bagi orang-orang yang memiliki keterbatasan fisik. Membuat suatu wadah tempat untuk menyalurkan hasil keterampilan mereka, memperkenalkan ke dunia luar, sehingga mereka bisa menjadi pribadi yang mandiri dan jauh dari kata “menyusahkan” atau bahkan “membebani”. Bukankah Tuhan telah menciptakan manusia dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing?
Saat ini, mungkin aku hanyalah satu di antara banyak orang yang memilki keterbatasan fisik yang diberi kesempatan untuk mengenyam pendidikan di perguruan tinggi. Insya Allah aku tidak akan  menyianyiakan kesempatan ini. Meskipun pada dasarnya aku mempelajari ilmu Sains,tetapi  nilai sosial tetap tidak boleh dilupakan. Jadi, untuk semua teman-teman di luar sana yang mungkin memiliki kekurangan sepertiku, aku ingin mengajak kalian dan memberitahu kepada kalian bahwa kekurangan bukanlah sebuah halangan, kekurangan bukanlah sebuah aib atau apapun itu yang harus ditutupi. Jadikan kekurangan itu menjadi sebuah “keistimewaan”dari Tuhan. Tuhan memilih kita sebagai orang-orang yang diberi keterbatasan fisik karena Ia mengetahui bahwa kita kuat, kita mampu, kita bisa. Jangan berhenti dengan meratapi dan menyesali kekurangan yang ada pada diri kita, tataplah ke depan, jalan masih panjang, Allah masih menyediakan kesempatan dan peluang untuk kita menjadi anak-anak generasi yang luar biasa. Ingat, hidup itu pilihan. Memilih untuk maju dan berhasil, atau berhenti dan mati? Remember it, “Tuhan tidak akan memberikan cobaan kepada umatnya melebihi kemampuan umatnya”. “Never give up”. Skenario Tuhan lebih indah kawan, jika kita mau mengikuti alur cerita-Nya.

Kini aku berjalan di sebuah jalan cerita yang kusebut “alur cerita Tuhan”. Ibarat kupu-kupu yang patah sayap nya satu, saat ini aku sedang mencoba menjahit sayap yang patah itu agar aku bisa terbang seperti kupu-kupu lain. Menari di udara, hinggap di bunga-bunga yang indah, itu impianku. Aku juga ingin mengajak kupu-kupu lain yang mungkin memiliki takdir sepertiku untuk mulai menjahit sayapnya yang patah. Agar sekedar bisa terbang, menggapai mimpi yang bergelantungan di angkasa. Tuhan, aku ikuti alur ceritamu. Ridhoi setiap langkahku Ya Allah. Aamiin.

Sebuah Puisi Untuk-Mu, Tuhanku
Kepada Tuhan yang Maha Bijaksana, sering kali aku bertanya, mengapa Engkau ciptakan aku seperti ini?Keterbatasan yang ada di diriku sering kali membuat aku rendah diri. Mengapa aku berbeda? Mengapa aku tak seperti anak-anak lainnya? Apa salahku? Apa salah kedua orang tuaku?Mengapa Engkau memilih aku? Apa aku tidak berhak menjadi manusia normal seperti yang lainnya?Meskipun aku tau, aku sadar, Engkau Maha Mengetahui. Engkau Maha Berkehendak atas segala sesuatu. Jika Engkau sudah memutuskan sesuatu, siapa yang sanggup mengelaknya?  Apa daya hamba yang lemah lagi berdosa ini di hadapan-Mu? Sampai mulutku berbusa pun aku takkan bisa merubah takdir-Mu? Tuhan, kini aku pasrah. Semua ku serahkan pada-Mu. Aku ikuti alur cerita-Mu, meski Kau bawa aku terombang-ambing bersama ombak di lautan, atau Engkau terbangkan aku tinggi-tinggi di langit, aku pasrah. Akan aku jalani skenario hidupku yang sudah kau tulis di Lauhmahfudz-Mu. Aku tau Tuhan, kau Sutradara terbaik untuk hiduku. Satu pintaku, biarkanlah aku tetap bernaung di dalam kasih sayang dan ridho-Mu. Meskipun mustahil, tapi dengan ridho-Mu, aku akan berusaha menjahit sayap patahku, agar aku tetap bisa terbang membubung langit, seperti kupu-kupu lain. Meskipun aku sadar, aku berbeda. Tuhan, aku mencintai-Mu.J

Hana Pratiwi Kadarisman
Fisika MIPA 2013