Jika dunia bagaikan panggung
sandiwara, mungkin Tuhan telah memberikan kepercayaan kepadaku untuk memerankan
tokoh seorang manusia yang “tidak sempurna”. Aku berbeda dengan manusia
lainnya. Ibarat kupu-kupu, sayapku patah satu. Tak bisa terbayangkan bagaimana
ia bisa terbang. Tapi Tuhan punya alur cerita sendiri, bagaimana klimaks dan
endingnya, hanya Ia yang tau. Ia menyediakan banyak pilihan peran dan alur yang
bisa kita pilih, ingin tetap menyerah dengan sayapnya yang patah, atau berusaha
menjahitnya meskipun mustahil dirasa. Tapi sandiwara ini bukanlah sandiwara
biasa. Aku bahkan tidak tau skenario yang akan aku mainkan. Terkadang aku
dihadapkan beberapa pilihan untuk menentukan alur. Inilah sepenggal kisah hidupku, yang
dipercaya Tuhan menjadi pemeran tokoh yang memiliki keterbatasan fisik.
Raga ini berisi ruh yang telah ditakdirkan menjadi sosok Hana,
seorang anak yang sedikit berbeda dengan anak-anak lain. Salah satu sendi di
tubuh ini tidak dapat berfungsi dengan baik, sendi
lutut kaki kiri lebih tepatnya. Jika sedang berjalan aku terkesan menyeret kaki
kiriku, “pincang” ya sering orang menyebutnya. Ketika sedang duduk, aku tidak
bisa menekuk kaki kiriku. Ketika sedang beribadah, sujudku tak sesempurna
manusia lain. Terkadang aku berharap, bisa bersujud dan duduk bersimpuh di
dalam sholat dengan sempurna. Ketika lebaran tiba, meskipun terkesan sepele
tetapi terkadang aku ingin seperti orang lain, duduk “sungkem” dan hikmat
meminta maaf kepada orang tua.
Protes-protes kepada Tuhan mengenai keadaanku semakin kuat ketika
aku dihadapkan dengan cemoohan orang dan pandangan sinis yang merasa aneh
dengan cara berjalanku. Aku malu dengan keadaanku yang seperti ini. Pernah aku
benar-benar
menangis karena keterbatasan yang kumiliki
ini menghalangi segala sesuatu yang ingin aku lakukan. Aku ingin berkembang, setidaknya
aku ingin dipandang “biasa” saja seperti anak-anak
lainnya. Ya, “biasa” tidak lebih. Kadang muncul pertanyaan di dalam hatiku, apa
aku bisa dengan kondisiku yang seperti ini. Apa aku mampu bertahan dan
menjalani hidup seperti orang lain?
Aku terlahir di tengah-tengah
sebuah keluarga dengan kondisi ekonomi yang pas-pasan. Ibuku seorang penjual
mie ayam dan ayahku pembuat batu bata. Jangan dibayangkan sebuah warung mie
ayam besar yang setiap harinya ramai pengunjung seperti di kota-kota. Hanya
sebuah warung kecil di bagian depan rumah kami. Satu gerobak mie ayam tua, 2
meja, dan kursi sederhana yang ada di warung itu. Meskipun begitu, aku tetap
bersyukur. Dari warung mie ayam itu, kami bisa bertahan hidup sampai sekarang.
Kedua orang tuaku adalah motivasi terbesarku dahulu, saat ini, dan
nanti. Dari mereka aku banyak belajar tentang keikhlasan, ketabahan, dan
ketegaran menjalani kehidupan. Mereka adalah alasan terbesarku untuk tetap
maju, menatap masa depan, dan melepaskan diri dari belenggu “kekurangan” yang
ada di diriku. Ketidak mungkinan bisa saja berubah menjadi sebuah kemungkinan.
Aku percaya itu.
Pembelajaran tentang keikhlasan, ketabahan, dan ketegaran dalam
menjalani hidup aku dapat dari kedua orang tuaku. Bagaimana tidak? Menjadi
orang tua yang memiliki 2 orang anak dengan kondisi yang berbeda dengan anak-anak
lain bukanlah hal yang mudah. Aku dengan kondisiku yang seperti ini, dan adikku
yang pernah mengalami kecelakaan ketika kecil sehingga membuatnya juga berbeda
dengan anak-anak normal lain.
Usia 1-3 tahun, aku tumbuh seperti anak-anak
pada umumnya. Namun, tidak seperti bayi biasanya, aku tidak melewati fase
merangkak. Pada awalnya, tidak ada rasa curiga dari kedua orang tuaku. Ketika berusia empat tahun, layaknya anak-anak
aku bermain dengan teman-teman sebayaku. Waktu itu aku sedang berada di rumah
nenek, aku bermain dengan salah satu temanku. Berlari, berkejar-kejaran sampai akhirnya aku terjatuh di
jalan menanjak depan rumah nenek. Semenjak saat itu, kaki
kiriku tidak bisa ditekuk. Aneh memang, hanya sebuah benturan kecil bisa
membuat kaki kiriku tidak bisa ditekuk. Namun, Ibu berpendapat bahwa kelainan
yang ada di kakiku merupakan bawaan sejak lahir. Beliau masih ingat ketika
mengandung aku, dokter yang memeriksa beliau mengatakan bahwa akan ada kelainan
pada diriku. Namun waktu itu beliau memperkirakan tangan kananku yang akan
mengalami kelainan. Wallaahua’lam..
Berbagai macam pengobatan sudah diupayakan
agar kaki kiriku bisa normal kembali. Mulai dari pengobatan tradisional, sampai
modern. Ketika menjalani terapi pengobatan secara tradisional, aku diharuskan
meminum bergelas-gelas jamu tradisional yang pahitnya luar biasa. Di samping pengobatan
tradisional, aku juga di bawa ke rumah
sakit. Berbagai macam rumah sakit sudah kami datangi, mulai rumah sakit daerah,
sampai rumah sakit pusat di provinsi. Saat aku duduk di kelas 5 Sekolah Dasar,
aku di bawa ke rumah sakit ternama di Jogja. Pada saat pemeriksaan, beberapa
dokter sangat heran karena kaki kiriku ternyata tidak memiliki tempurung lutut.
Setelah dilakukan pemeriksaan, seminggu kemudian operasi akan dilakukan.
Berbagai persiapan dilakukan, Surat
Keterangan Tidak Mampu (SKTM) sudah dipersiapkan untuk meringankan biaya rumah
sakit. Hari di mana aku akan operasi tiba, aku dan keluargaku berangkat menuju
rumah sakit tersebut menggunakan mobil saudara. Sesampainya di rumah sakit,
saudaraku mencari dokter yang sudah menjanjikan akan melakukan operasi pada diriku. Namun, di hari itu, ketika semua
persiapan sudah dilakukan, ternyata dokter yang bersangkutan pergi ke luar kota
menghadiri sebuah acara penting. Akhirnya, kami memutuskan pulang dan kakiku
gagal dioperasi.
Aku menerima semua ini dengan lapang dada,
kadang terbesit di dalam hatiku mungkin aku memang sudah ditakdirkan untuk
menjadi seperti ini sepanjang hidupku.
Entah ungkapan itu merupakan ungkapan keputus asaan karena sudah banyak
pengobatan yang aku lakukan atau ungkapan pasrah kepada Tuhan.
Satu yang ingin aku tunjukkan kepada orang-orang
yang selama ini sudah banyak berkorban untuk pengobatan kakiku. Nenekku yang
sudah membawaku ke berbagai pengobatan tradisional seperti tukang urut-pijat dari pelosok desa hingga yang ada di kota. Ayah, ibu dan saudaraku
yang sudah mengupayakan operasi kakiku. Aku tak ingin membuat mereka sedih atau
kecewa memiliki anak sepertiku. Aku ingin membuktikan kepada mereka bahwa aku
memang tidak sempurna, tapi paling tidak aku bisa seperti anak-anak lainnya.
Aku selalu ingat dengan kata-kata Ibuku “Koe
ora usah minder,Han. Neng ngisore awakdewe ijik okeh. Koe kudu iso bersyukur”
(read: Kamu tidak usah minder Han, di bawah kita masih banyak. Kamu harus bisa
bersyukur). Kata-kata itu yang selalu aku ingat, terutama jika temen-teman
baruku bertanya tentang ketidak sempurnaan ini
“Kakimu kenapa kok pincang?”. Aku tau
mereka tidak bermaksud menghina, tapi kata “pincang” itu sering kali mengiris
hati. Aku biasanya hanya tersenyum dan berkata “tidak papa”.
Meskipun aku punya kekurangan, tapi aku selalu berusaha untuk
menjalani hidup layaknya manusia lain. Kedua orang tuaku adalah alasan
terbesarku bertahan dan tegar saat ini. Aku banyak belajar dari mereka. Terkadang aku
merasa malu. Bukan malu karena kondisiku yang seperti ini. Tapi malu kepada
kedua orang tuaku, bagaiman tidak? Seharusnya aku berfikir, bagaimana perasaan
orang tua yang memiliki anak yang tidak seperti anak-anak
normal lainnya? Bagaimana ketika mereka ditanya, kenapa anakmu, kenapa kakinya pincang
dan kenapa bisa seperti itu? Aku harus selalu ingat, aku tidak boleh egois,
jika aku menyesali kondisiku saat ini dan tidak berbuat apa-apa, lalu apa yang
bisa aku berikan kepada kedua orang tuaku? Aku harus menatap ke atas, aku harus
percaya setiap orang pasti memiliki jalan kesuksesan/ keberhasilannya masing-masing.
Ketika adikku berusia sekitar 3 tahun, adikku mengalami peristiwa
tragis. Waktu itu, kedua orang tuaku sedang membakar batu bata. Aku dan adikku
yang masih kecil ikut ke tobong (tempat pembakaran batu bata). Ketika
bapak dan ibu sedang sibuk dalam proses pembakaran, adikku yang baru saja
bangun tidur tiba-tiba berjalan cepat sambil mencari ibuku. Tak disangka,
adikku jatuh di perapian yang sedang digunakan untuk membakar batu bata. Luka
bakarnya hampir 75%. Bahkan, 2 jari tangan kirinya menekuk dan tertempel tidak
bisa diluruskan. Kaki dan tubuhnya melepuh. Segera waktu itu bapak dan ibuku
membawanya ke rumah sakit. Sampai sekarang, luka bakar itu masih ada. Jari
kelingking dan ibu jari tangan kiri adikku pernah dioperasi. Namun, pada saat
proses pemulihan, ternyata tulang jari kelingking adikku patah, dan akhirnya
diputuskan untuk dipotong dua ruas.
Aku tak tahu bagaimana aku bisa menggambarkan kebesaran dan
ketulusan hati kedua orang tuaku ketika dua buah hatinya tidak seperti anak-anak
pada umumnya. Bagaimana mereka menanggapi setiap pertanyaan yang datang dari
orang-orang mengenai kondisi aku dan adikku.
Dari mereka aku mulai belajar, hidup bukan untuk diratapi, tapi dijalani, meskipun
dalam kondisi tersulit sekalipun.
Masa sekolah, masa menuntut ilmu, masa di
mana manusia bisa bersosialisasi dengan manusia di sekitarnya. Begitu juga aku.
Masa-masa awal di sekolah, merupakan masa penyesuaian dan pengenalan bagiku. Pada awalnya sulit memang ketika harus
menyesuaikan diri dengan cakupan yang lebih luas. Tatapan-tatapan yang disusul
dengan pertanyaan-pertanyaan teman-teman baru tentang kaki yang sebenarnya membuat diriku ini cukup merasa risih. Tetapi lama kelamaan aku mulai
terbiasa. Hanya saja ada pula segelintir teman yang pernah menertawakanku
ketika aku berjalan, berlari, bahkan jongkok. Sewaktu SMP, ketika sedang
pelajaran olah raga lompat jauh, aku dilarang mengikuti oleh guru olah ragaku.
Aku hanya disuruh membantu membersihkan bak pasir lompat jauh dan meratakan
pasirnya.
Sempat ada seorang temanku yang berkata
“Wah enak ya cuman kayak gitu doang. Enggak capek, aku juga mau kalik.”
Aku
tersinggung, dongkol rasanya mendengar kata-kata itu. Akhirnya aku menanggapi
kata-kata temanku itu “Kalau aku disuruh milih, aku juga milih kayak kamu,
bebas olah raga apa aja. Aku juga pengen punya kaki normal kayak kamu”.
Semenjak saat itu, aku meminta ijin kepada
guru olah ragaku untuk ikut olah raga lompat jauh. Meskipun kakiku tidak bisa
mendarat dengan sempurna (posisi menekuk/ jongkok), akhirnya aku tetap
diperbolehkan untuk ikut lompat jauh dengan catatan guruku sudah mengingatkan
agar aku tidak mengikuti olah raga tersebut.
Aku mulai berfikir, jika aku tidak bisa
unggul di bidang yang satu itu (olah raga), aku masih punya kesempatan untuk
unggul di bidang lain. Aku belajar dengan sungguh-sungguh. Alhamdulillah,
peringkat pertama selalu kuraih saat di SMP. Begitu pula saat kelulusan,
ternyata aku menjadi lulusan terbaik dengan Nilai Hasil Ujian Nasional
tertinggi. Saat menjelang kelulusan, aku ditawari untuk bersekolah di SMA
Negeri 2 Wates (SMA RSBI pertama di Kulon Progo). Tidak pernah terbayang olehku
bisa bersekolah di sana. Namun, dengan bantuan salah satu guru SMP-ku yang waktu itu merupakan guru Bahasa Jawa, akhirnya aku bisa bersekolah di SMA N 2 Wates.
Awalnya aku diberi tahu oleh beliau, jika ada seorang donatur yang bersedia menjadi donatur untuk
biaya sekolahku di sana. Serangkaian tes sudah kulalui dan ternyata aku mendapat
peringkat ke-dua saat PPDB (Penerimaan Pesrta Didik Baru). Hal itu sangat
kusyukuri. Ketika aku sudah masuk
menjadi siswa di sana, aku baru tau jika donatur tersebut adalah keluarga guru
Bahasa Jawa SMP ku itu. Lebih tercengangnya, ternyata suami guruku itu adalah
kepala SMA baruku itu. Subhannallah, aku jadi semakin termotivasi dan semakin
semangat belajar.
Bersekolah di sekolah dengan status RSBI
merupakan tantangan untukku. Selain bertemu dengan teman-teman yang berasal
dari SMP favorit, teman-temanku juga kebanyakan berasal dari keluarga menegah
ke atas. Tapi sekali lagi, aku tidak ingin mengecewakan kedua orang tuaku, dan donatur
yang sudah membiayai sekolahku. Aku terus berusaha belajar dan berdoa. Awalnya
teman-teman menyangka kakiku sakit karena kecelakaan, tapi lama-lama aku mulai
sedikit bercerita tentang awal mula kakiku bisa seperti ini. Mereka menerimaku,
bahkan terasa segan jika bertemu atau berbicara denganku. Aku sebenarnya tidak
suka diperlakukan seperti itu, aku ingin sikap mereka kepadaku seperti sikap
mereka dengan teman-teman yang lain. Aku biasanya yang mulai mendekati mereka
dan bercanda seperti biasa agar mereka tidak canggung.
Di SMA ini, Alhamdulillah rupanya Allah menjawab doa-doaku, aku diberi karunia
dengan mendapat rangking pertama di kelas dari semester 1 hinga 6. Semester 1-5
aku juga mendapat rangking 1 paralel IPA. Aku sangat bersyukur, setidaknya
aku bisa sedikit membalas budi kebaikan orang-orang yang menyayangiku. Meskipun
itu kecil sekali.
Saat duduk di kelas XII, kegalauan mengenai
kelanjutan study juga melandaku seperti kegalauan yang dirasakan siswa siswai
kelas XII pada umumnya. Kuliah, ya, kuliah. Duduk di bangku kuliah merupakan
sebuah impian besar bagiku. Untuk seorang anak penjual mie ayam dan pembuat batu
bata dengan berbagai keterbatasan yang ada, bukanlah sebuah hal yang mudah
untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Masalah biaya merupakan
faktor utama. Mustahil sepertinya untuk melanjutkan ke perguruan tinggi dengan
mendapati kenyataan bahwa pendapatan orang tuaku yang terbatas, belum lagi
ditambah dengan biaya sekolah adikku yang kini sudah duduk di bangku Sekolah
Menengah Atas kelas X. Aku bahkan sempat berpikir untuk tidak melanjutkan
kuliah dulu dan bekerja di pabrik daerahku. Namun aku juga berpikir, iya jika
diterima, jika tidak?
Ternyata Allah, Sang sutradara sekaligus
penulis Skenario kehidupan ini, memberi
jalan cerita sendiri. Guru Bimbingan Konseling kami memberi informasi mengenai
beasiswa BIDIKMISI. Beasiswa yang diperuntukkan bagi anak-anak yang tidak mampu
yang ingin melanjutkan pendidikannya di perguruan tinggi negeri. Seperti mendapat
angin segar, aku segera memberitahu kedua orang tuaku. Syarat-syarat mulai
dicari. Aku berniat mendaftar melalui jalur SNMPTN. Waktu itu sempat ada
“kegalauan” tentang universitas negeri yang akan aku pilih. Sempat minta
pendapat orang tua, ada perdebatan juga tetapi akhirnya mereka menyerahkan
keputusan kepadaku. Akhirnya aku memilih FISIKA UGM di pilihan pertamaku,
disusul matematika. Agak aneh memang tetapi aku memilih jurusan tersebut dengan
berbagai pertimbangan. Pada awanya aku tertarik pada Fakultas Teknik, tetapi
setelah membaca persyaratan yang tertera, akumengurungkan niatku memngingat aku
memiliki keterbatasan fisik. Dengan mengucapkan Bismillahirrohmanirrohiim aku
mantapkan pilihanku di FISIKA UGM.
Masa menunggu adalah masa-masa galau. Menunggu
hasil ujian nasional dan menunggu hasil SNMPTN. Pada saat hasil Ujian Nasional
diumumkan, rangking paralelku turun menjadi rangking 4. Sempat kecewa,
menangis, tetapi ibuku memberi nasihat kepadaku agar tidak berlarut-larut dalam
kekecewaan. Aku harus memikirkan kelanjutan pendidikanku. Lebih tepatnya, hasil
SNMPTNku. Tidak ada salahnya untuk sedikit melupakan hasil UN dan lebih
berkonsentrasi berdoa untuk hasil SNMPTN-ku. Kedua orang tuaku, nenek, budhe, bulek,
paklek, adik, dan orang-orang yang
sering menanyakan aku mau lanjut kuliah di mana, tak henti-hentinya aku mintai
doa. Bahkan jauh-jauh sebelum itu,
ketika musim haji tahun 2012, aku sempat mengirim pesan melalui sms (short
message servis) kepada warga desaku yang sedang menunaikan ibadah haji di
Mekah untuk meminta didoakan agar kelak aku mendapat hasil UN yang baik dan
dapat diterima di universitas yang terbaik menurut Allah.
Tepat hari Senin, 27 Mei 2013, sekitar
pukul 17.00 aku mendapat pesan singkat dari temanku. Dia menanyakan apa aku
diterima atau tidak. Waktu itu, aku baru saja pulang dari masjid karena hari
Senin adalah jadwal untuk mengajar di TPA.
Aku segera membalasnya, “belum, kamu udah
ya? Gimana hasilnya?”.
Ternyata dia belum lolos. Aku memutuskan
untuk pergi ke warnet yang berjarak sekitar 3 km dari rumahku untuk melihat hasil
SNMPTN. Namun karena sudah sore dan hampir maghrib, ibu menyuruhku untuk menumpang memakai internet di rumah tetangga yang kebetulan
memiliki sumber internet. Belum selesai aku melangkahkan kaki keluar rumah, ternyata ada satu pesan singkat yang masuk kedalam
handphoneku. Ternyata dari temanku Noviana, dia memberi selamat kepadaku karena aku lolos
SNMPTN Fisika UGM. Terharu, bersyukur sekali rasanya, aku sujud syukur. Tak
henti-hentinya kalimat tahmid kupanjatkan kepada Allah. Aku baru ingat, waktu
melakukan scanning kartu SNMPTN untuk persyaratan, aku sempat menitip file di flashdisk
Noviana, jadi dia bisa membuka pengumuman SNMPTN milikku. Tak lupa aku juga
mengucapkan terima kasih kepadanya. Aku ditemani ibuku tetap pergi ke rumah tetanggaku
untuk melihat pengumuman tersebut, intinya untuk lebih memantapkan.
Alhamdulillah, sungguh karunia yang Allah berikan begitu indah. Ini adalah
salah satu jalan yang sudah Allah berikan kepadaku.
Diterimanya aku di UGM, tidak lantas
membuatku senang, mengapa? Ada satu masalah yang benar-benar menggangguku. Isu-isu
mengenai mahalnya biaya kuliah di sana mulai menyeruak di pikiranku. Seandainya
aku benar-benar memperoleh beasiswa BIDIKMISI, mungkin masalah biaya bukanlah
sebuah persoalan serius. Namun, jika aku tidak mendapatkannya, bagaiman aku
bisa kuliah di sana? Bapakku mulai mencari-cari pohon yang sekiranya bisa
ditebang di lahan kecil milik orangt tuaku. Namun, aku tetap berharap agar aku
benar-benar bisa mendapat beasiswa BIDIKMISI. Setidaknya jika aku benar-benar
mendapatkan beasiswa tersebut, pohon yang ada bisa digunakan sebagai tabungan
biaya kuliah adikku atau S2 ku kelak. Aamiin.
Semenjak pengumuman SNMPTN tersebut, kabar
mengenai aku diterima di UGM mulai menyebar di desaku. Maklum, jarang sekali
ada anak desa kami yang melanjutkan kuliah di sana. Terutama karena isu jika kuliah
di UGM biayanya selangit.
Jika bertemu dengan orang dijalan, yang sering mereka tanyakan terhadapku adalah “Di terima di UGM ya, Mbak? Ambil
jurusan apa? Uang pangkalnya berapa? Uang sumbangannya? Per semester berapa?”.
Aku pun hanya bisa menjawab yang bisa aku jawab. “Saya
baru melamar beasiswa Pak/Bu. Mohon doanya juga, jika saya bisa mendapat
beasiswa tersebut, Insya Allah bisa gratis. Aamiin”.
Ada satu peristiwa yang masih membekas
waktu itu. Aku disuruh ibuku untuk membeli sayur di warung tetangga yang agak
dekat dengan rumahku. Waktu itu, ibu penjual sayur itu bertanya tentang
diterimanya aku di Universitas Gadjah Mada dan dia mengatakan bahwa dia ikut
senang dan bangga dengan pretasi yang aku dapat saat ini. Beliau menepuk pundaku sambil meneteskan air matanya .
“Seandainya simbahmu masih ada, pasti beliau seneng banget, Mbak!”. Aku jadi
ikut meneteskan air mata. Simbahku (lebih tepatnya Nenek), adalah seorang
tukang urut di desaku, jadi warga desa sudah mengenal baik tentang nenekku.
Aku juga tak lupa berterima kasih kedua
orang tuaku, adik, keluarga, kepada donatur yang selama ini sudah banyak sekali
membantuku di SMA, keluarga Bapak Drs.H.Mudijono dan Ibu Dra. Hj. Suharti , guru SMP yang selalu
memotivasiku yaitu Ibu Erni Hastuti, Wali kelas XII IPA 1 Bapak Drs.Agus Burhan
M.M, Ibu Esti, guru-guruku yang lain yang tidak dapat kusebutkan satu persatu,
teman-temanku, sahabatku, Erlinda, Noviana, Farida, Ela, Dika, dan semua yang
banyak mengajariku untuk selalu bersyukur di atas semua kekurangan yang ada di
diriku.
Senin, 22 Juli 2013 di depan sebuah toko
tempat foto copy, rental, dll. Setelah menjemput adikku sekolah, aku mampir di
sebuah tempat fotokopi untuk memfoto kopi sesuatu. Sekitar pukul 13.30 WIB di
saat panas sinar matahari begitu menyengat. Ada seorang anak kecil berusia
sekitar lima tahun dengan sebuah gitar kecil mendekat ke arah tempat foto kopi
itu. Tak ada lagu yang dimainkan olehnya. Jari-jari mungilnya hanya memetik
sinar gitar kecil yang sudah tua itu. Di belakangnya, tepatnya di pinggir jalan
raya, ada seorang ibu. Ibu itu menggunakan sebuah kursi roda, maaf, kakinya
agak berbeda. Tidak sempurna. Aku membayangkan dalam kondisi siang yang sangat
terik seperti ini mereka mencari nafkah dengan mengamen. Kondisi ibunya yang
seperti itu sebenarnya tidak layak untuk mencari nafkah dengan cara seperti itu
menurutku.
Aku iba, aku mengambil uang kembalian
fotokopi tadi, uang receh Rp 5000 an, lalu kuserahkan kepada anak kecil itu.
Anak kecil itu menerimanya, tak ada satu kata pun terucap dari bibirnya. Dia
kemudian berlari menuju ibunya yang menunggu di pinggir jalan raya. Ia menyerahkan
uang itu. Ibunya menengok ke arahku dan dengan pandangan sayu beliau berkata ‘Terima kasih’. Aku tersenyum, walau sebenarnya hatiku getir. Di tengah
ruwetnya masalah korupsi para petinggi negeri, nasib rakyat kecil, penyandang
cacat semakin terbengkalai. Seharusnya orang-orang yang memiliki keterbatasan
fisik harus diberi perhatian khusus, minimal diberi keterampilan. Dengan memiliki
keterampilan mereka bissa berkarya lalu bisa bernilai ekonomi dan menjadi
sumber pendapatan bagi mereka. Bukan seperti ini, mengamen di jalan raya di toko-toko.
Aku semakin memantapkan keinginanku. Kelak, jika aku sudah menjadi “orang”, aku
ingin mendirikan sejenis pendidikan gratis untuk anak-anak kurang mampu dan balai
latihan kerja sebagai pembekalan dan pengembangan keterampilan bagi orang-orang
yang memiliki keterbatasan fisik. Membuat suatu wadah tempat untuk menyalurkan hasil keterampilan
mereka, memperkenalkan ke dunia luar, sehingga mereka bisa menjadi pribadi yang
mandiri dan jauh dari kata “menyusahkan” atau bahkan “membebani”. Bukankah
Tuhan telah menciptakan manusia dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing?
Saat ini, mungkin aku hanyalah satu di
antara banyak orang yang memilki keterbatasan fisik yang diberi kesempatan
untuk mengenyam pendidikan di perguruan tinggi. Insya Allah aku tidak akan menyianyiakan kesempatan ini. Meskipun pada
dasarnya aku mempelajari ilmu Sains,tetapi nilai sosial tetap tidak boleh dilupakan. Jadi,
untuk semua teman-teman di luar sana yang mungkin memiliki kekurangan
sepertiku, aku ingin mengajak kalian dan memberitahu kepada kalian bahwa
kekurangan bukanlah sebuah halangan, kekurangan bukanlah sebuah aib atau apapun
itu yang harus ditutupi. Jadikan kekurangan itu menjadi sebuah “keistimewaan”dari
Tuhan. Tuhan memilih kita sebagai orang-orang yang diberi keterbatasan fisik
karena Ia mengetahui bahwa kita kuat, kita mampu, kita bisa. Jangan berhenti
dengan meratapi dan menyesali kekurangan yang ada pada diri kita, tataplah ke
depan, jalan masih panjang, Allah masih menyediakan kesempatan dan peluang
untuk kita menjadi anak-anak generasi yang luar biasa. Ingat, hidup itu
pilihan. Memilih untuk maju dan berhasil, atau berhenti dan mati? Remember
it, “Tuhan tidak akan memberikan cobaan kepada umatnya melebihi kemampuan
umatnya”. “Never give up”. Skenario Tuhan lebih indah kawan, jika kita
mau mengikuti alur cerita-Nya.
Kini aku
berjalan di sebuah jalan cerita yang kusebut “alur cerita Tuhan”. Ibarat kupu-kupu
yang patah sayap nya satu, saat ini aku sedang mencoba menjahit sayap yang
patah itu agar aku bisa terbang seperti kupu-kupu lain. Menari di udara,
hinggap di bunga-bunga yang indah, itu impianku. Aku juga ingin mengajak kupu-kupu
lain yang mungkin memiliki takdir sepertiku untuk mulai menjahit sayapnya yang
patah. Agar sekedar bisa terbang, menggapai mimpi yang bergelantungan di
angkasa. Tuhan, aku ikuti alur ceritamu. Ridhoi setiap langkahku Ya Allah.
Aamiin.
Sebuah Puisi Untuk-Mu, Tuhanku
Kepada Tuhan
yang Maha Bijaksana, sering kali aku bertanya, mengapa Engkau ciptakan aku seperti
ini?Keterbatasan yang ada di diriku sering kali membuat aku rendah diri.
Mengapa aku berbeda? Mengapa aku tak seperti anak-anak lainnya? Apa salahku?
Apa salah kedua orang tuaku?Mengapa Engkau memilih aku? Apa aku tidak berhak
menjadi manusia normal seperti yang lainnya?Meskipun aku tau, aku sadar, Engkau
Maha Mengetahui. Engkau Maha Berkehendak atas segala sesuatu. Jika Engkau sudah
memutuskan sesuatu, siapa yang sanggup mengelaknya? Apa daya hamba yang lemah lagi berdosa ini di
hadapan-Mu? Sampai mulutku berbusa pun aku takkan bisa merubah takdir-Mu?
Tuhan, kini aku pasrah. Semua ku serahkan pada-Mu. Aku ikuti alur cerita-Mu,
meski Kau bawa aku terombang-ambing bersama ombak di lautan, atau Engkau
terbangkan aku tinggi-tinggi di langit, aku pasrah. Akan aku jalani skenario
hidupku yang sudah kau tulis di Lauhmahfudz-Mu. Aku tau Tuhan, kau Sutradara
terbaik untuk hiduku. Satu pintaku, biarkanlah aku tetap bernaung di dalam
kasih sayang dan ridho-Mu. Meskipun mustahil, tapi dengan ridho-Mu, aku akan
berusaha menjahit sayap patahku, agar aku tetap bisa terbang membubung langit,
seperti kupu-kupu lain. Meskipun aku sadar, aku berbeda. Tuhan, aku
mencintai-Mu.J
Hana Pratiwi Kadarisman
Fisika MIPA 2013